Minggu, 21 Januari 2018

GETSEMANE ~sesaat, Tuhan pun diam~



Gusti Jesus banjur rawuh maneh ing panggonane para sekabat, sing padha kadhawuhan ngrewangi melek. Sekabat mau satemene ora bisa nyaosi pitulungan apa-apa, nanging katresnane wis bisa gawe lejaring galihe. Sarawuhe ing kono, sekabat telu mau padha keturon maneh, jalaran mripate mbliyut, awake sayah, atine sedhih tur ora mudheng apa sing njalari Gustine nandhang sungkawa lan giris.

Sekabat mau banjur ditilar maneh ndedonga kaping telune. Saking bangete enggone nandhang giris, lan saking bantere enggone mbatek ing pandonga, riwene dleweran nganti kaya tetesing getih rumentah ing bumi. Sakehing siksa lan sangsara kang bakal tumempuh ing sarirane iku umpamane kaya dene wisa sing diwadhahi tuwung, kacaosake marang Gusti Jesus supaya kaunjuka. Mula ature ing pandonga, "Menawi kepareng, Tuwan mugi nyingkiraken tuwung punika saking kawula. Ewadene, sanajana banget enggone kapetek ing sungkawa lan giris, Panjenengane isih kuwawi munjuk,"Semanten ugi sampun ngantos sakajeng kawula, namunga ing sakarsa Tuwan." Gusti Jesus pasrah jiwangga marang Allah Sang Rama ing swarga.

Dumakan ana pepadhang cumlorot ing celake Gusti Jesus, malaekat saka ing swarga kautus nyantosakake galihe. Wusanane Gusti klawan tatag munjuk marang Sang Rama, "Namung karsa Tuwan kalampahana."

(Menyadur buku Babad_Saka_Kitab_Sutji hlm. 127 - 128). Hening, larut dalam keindahan bahasa dan kedalaman makna. Buku terbit 1960
 — feeling burn out.

Senin, 15 Januari 2018

Breksi, Menjadi Turis di Kampung Sendiri

Medsos itu begitu dahsyat. Jalan-jalan, makan-makan, lalu foto-foto, unggah ke medsos telah menjadi ritual sebagian dari kita.  Tempat-tempat yang istilahnya instagramable atau facebookable atau apalah terus diburu. Jalan-jalan bukan lagi sebuah kemewahan.

Tempat yang dulu mblusuk, sunyi sepi, tak ada transportasi kini mejadi ramai oleh turis. Itu pemikiran saya ketika akhir tahun 2017 ke Breksi. Saya baru tahu kalau tempat yang bersliweran muncul di akun medsos saya, dipamerkan oleh teman virtual saya, letaknya cuma di belakang rumah masa kecil saya.  
Salah satu spot Breksi

Candi Ijo

Sabtu, 06 Januari 2018

Dewi Persik, Seks & Hijab.


Saya sampai pada Bab "Seks dan Kaum Lajang Arab". Tiba-tiba ingatan saya melayang kepada Dewi Persik, pesohor dangdut yang sering kontroversial itu. Dalam suatu tayangan acara gossip yang disiarkan oleh televisi swasta, lupa tahun berapa,  ia mengatakan bahwa  baru saja pulang dari Kairo untuk menjalani operasi reparasi selaput dara. Ada sponsor yang membiayai, katanya. Dengan bersemangat ia berdalih,”Kalau tujuannya untuk membahagiakan suami ya nggak apa-apa.”

Sekarang saya tahu kenapa Kairo. Fokus saya bukan Dewi Persiknya ya. Reparasi (atau apalah istilah yang lebih tepat) merupakan praktik kedokteran yang yang berakar pada tradisi dukhla di Mesir. Pada malam pertama sepasang pengantin dituntut untuk menunjukkan bukti keperawanannya bagi yang perempuan dan kejantanannya bagi laki-laki. Bukti yang harus dipertintinkan kepada keluarga adalah secarik kain yang bernoda darah.

Dukhla arti harafiahnya “masukan” merujuk pada penetrasi alat kelamin laki-laki. Dukhla baladi adalah tradisi di pedesaan, di mana seorang “daya” semacam dukun pengantin,  akan menusuk vagina pengantin perempuan dengan jari atau pisau cukur yang dibungkus kain putih. Laf al-sharaf, kain kehormatan, ini akan ditunjukkan kepada kerabat sebagai bukti bahwa mereka telah menjaga nama baik.

Dukhla afrangi dipraktikkan di kota-kota besar. Intinya sama, pertunjukan keperawanan. Bedanya yang terkahir ini lebih personal. Jadi para “pengamat” berada di luar kamar pengantin.  Sesudah persetubuhan, esok paginya keluarga mempelai perempuan akan mengambil selembar kain kehormatan itu dan menunjukkan kepada yang berwenang mengetahui.

Dukhla berlangsung di Mesir karena kehormatan keluarga berkait dengan keperawanan anak perempuan. Kaum ibu akan menjaga anak perempuannnya agar selaput membran tipis itu tidak robek. Kalau  gagal melindungi selaput dara, maka ada cara baru yaitu operasi perbaikan selaput dara. Caranya cukup mudah. Dokter akan membuat jahitan sepanjang bukaan vagina, yang akan memberi resistensi palsu dan perdarahan pada hubungan seksual pertama.

Menurut penulis buku ini, Shereen el Feki, operasi memakan biaya 200 pound  Mesir. Itu yang paling murah. Yang lebih berkualitas biayanya sekitar 700 – 2000 pound. Kemungkinan masih ada tambahan biaya tutup mulut. Beberapa ginekolog  laki-laki memeras pasien dengan meminta imbalan hubungan seksual demi merahasiakan operasi tersebut.

Menanggapi praktik operasi selaput dara, otoritas keagamaan di Mesir terbelah dua. Satu pihak mengatakan bahwa hal ini haram. Hal ini bukan saja karena menipu suami tetapi juga membuka kemungkinan adanya ayah yang salah. Maksudnya tentu jika perempuan tersebut telah hamil sebelum operasi.

Sebagian ulama  bisa menerima operasi itu, karena menganggap selaput dara yang sobek bukanlah bukti positif perzinahan.  Lagi pula, menolak operasi perbaikan selaput dara berarti menghalangi peluang si gadis untuk menikah. Dengan demikian si perempuan ini akan menyalurkan energi seksualnya ke hal-hal yang melanggar hukum. Salah satu ulama dari kelompok ini, Syekh Ali Gomaa, pada 2007 mengeluarkan fatwa kontroversial yang membolehkan reparasi selaput dara di luar akibat perkosaan.

Sebagian  dokter menghadapi dilema. Haruskah mereka berpartisipasi pada sesuatu yang bisa dianggap penipuan terhadap suami; atau membantu seorang perempuan yang akan menghadapi kesulitan besar jika pengalaman seksual sebelumnya terungkap ? Apakah mereka sedang terlibat dalam praktik yang menopang patriarki ataukah justru memberikan lebih banyak kebebasan pribadi kepada perempuan dengan membantu mereka dalam urusan pembatasan sosial ini?

Para ginekolog di kawasan Arab konon mengetahui banyak perempuan muda Arab yang cemas dan menginginkan pemeriksaan atas selaput dara mereka. Hasil yang didapat adalah “sertifikat keperawanan” sebuah testimoni yang ditandatangani dokter bahwa keperawanan mempelai perempuan adalah asli.

Sebenarnya sertifikat pranikah adalah hal lazim di Arab untuk menguji penyakit menular seperti HIV dan hepatitis. Tapi dalam beberapa kasus keluarga mempelai laki-laki menuntut lebih jauh. Mereka minta agar mempelai perempuan disertifikasi seutuhnya (maksudnya test keperawanan asli tadi) sebelum dilangsungkan persetubuhan. Tentu saja test macam itu melukai perasaan dan menimbulkan beban etika, tidak saja terhadap calon mempelai wanita tetapi juga dokter yang harus memeriksa.

Sekarang kembali ke Mbak Dewi Persik. Nyambung kan, kenapa dulu ia pergi ke Mesir ? Ya karena praktik reparasi selaput dara itu merupakan hal yang lumrah di sana, meski tak lepas dari kontroversi juga.

Seks & Hijab, Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Berubah, Shereen El Feki, Pustaka Alvabet 2013.