Selasa, 06 Juli 2021

Mortenson's Shift

 






Khatam sudah dua jilid buku Mortenson. Buku pertama Three Cups of Tea (2006), baru saya  selesaikan kemarin. Buku kedua Stones into Schools (2010), saya beli tahun 2013, tapi baru saya baca tahun kemarin.... . Tuh kaan, i am a good   book collector but not a good book reader.

Greg Mortenson seorang pendaki gunung profesional, mengalami titik balik dalam hidupnya pada 1993. Ia gagal menyelesaikan pendakian puncak K2 Pegunungan Karakhoram, Himalaya, yang diyakini sebagai gunung tertinggi kedua di dunia. Ia mengalami keletihan kronis dan kehilangan orientasi. Terseok-seok ia berjalan turun sampai total hilang kesadaran di desa Korphe, sebuah tempat di Pakistan yang sangat terisolir.

Nurmadhar (kepala desa) Haji Ali merawatnya hingga beberapa hari kemudian ia siuman. Waktu seolah terhentoi di desa ini. Isolasi dan diskriminasi membuat desa ini nyaris tak menikmati kemajuan. Pejabat Pakistan yang didominasi etnis Punjabi tak melirik wilayah  yang dihuni suku Wakhi , yang masih terhubung  secara antropologis dengan  suku-suku yang menghuni wilayah Afganistan.  Haji Ali mengungkapkan kegelisahannya karena tiadanya pendidikan bagi anak-anak Korphe. Mortenson berjanji akan membantu mendirikan sekolah dasar untuk mereka.

Ia sendiri sama sekali bukan orang kaya. Pendidikan formalnya adalah sarjana keperawatan. Ketahanan fisik diperolehnya dari latar belakangnya sebagai pendaki gunung dan dinas wajib militer. Ketahanan mentalnya didapat dari latar masa kecilnya di Tanzania. Belasan tahun pertama dalam hidupnya dihabiskan di sana bersama orang tuanya yang sepasang misionaris beserta kedua adiknya.

Ia memilih bekerja paruh waktu di rumah sakit, itupun hanya saat- saat tertentu dalam setahun,  sebab sering kali sibuk dengan urusan pendakiannya.  Harta miliknya hanyalah sebuah mobil tua yang jok belakangnya bisa disulap menjadi tempat tidur. Malam hari ia memarkir mobilnya di area pergudangan pelabuhan yang tenang. Ia menyewa sebuah locker untuk menyimpan barang-barang pribadi. Siang hari selepas bekerja ia lebih banyak berlatih panjat tebing di sebuah klab untuk melatih kemampuan fisiknya dan untuk bisa mandi gratis. “Saya hidup nyaris seperti biarawan dengan menu paket sarapan 99 sen, “ tulisnya.

Untuk mewujudkan janjinya kepada penduduk Korphe  ia menulis 580 surat dan proposal kepada berbagai pihak : lembaga, orang-orang terkenal dan anggota dewan. Nyaris tanpa hasil. Di ujung keraguannya ia berjumpa Jean Hoerni seorang dokter yang meninggalkan profesinya dan menjadi pengusaha dari beberapa industri besar. Hoerni mencukupi pembiayaan sekolah di Korphe.

Menjelang keamtiannya, Hoerni  juga  mewariskan sejumlah besar uang untuk modal awal pendirian Central Asia Institute, sebuah yayasan yang dikepalai Mortenson, yang bertujuan memajukan pendidikan anak-anak di Asia Tengah. Sejak itu hidup Mortenson berubah. Ia tidak lagi bekerja sebagai jura rawat dalam waktu-waktu tertentu dan menjalani sisanya dengan mendaki gunung. Beberapa bulan dalam setahun ia berada di Pakistan untuk memimpin beberapa orang stafnya mengembangkan pendidikan di beberapa wilayah terpencil di Pakistan.

Itu ringkasan buku pertama. Buku kedua, Stone into Schools, bercerita tentang misi yang sama di Afganistan. Saat Mortenson berada di Korphe, sepasukan pria berkuda mendatanginya. Mereka adalah utusan Abdul Rashid Khan,  kepala suku Kirgish di Koridor Wakan, wilayah terpencil di Afganistan. Mereka minta Mortenson berjanji untuk mendirikan sekolah di daerah mereka. Saat itu Central Asia Institute belum terbentuk. Uang dari donatur hanya cukup untuk membangun sekolah di Korphe.

Tapi Mortenson bertekad mewujudkan janjijya. Hal itu baru bisa dilaksanakan 10 tahun kemudian. Inilah yang diceritakan dalam  buku  kedua.

Membaca kedua buku ini saya seperti melayang ke lereng Himalaya di sisi Pakistan Karakoram, Hindu Kush berlanjut ke koridor Wakhan menuju Lembah Panjshir. Saya diajak  menyelami tradisi suku-suku di Pakistan dan Afganistan. Benar kata seorang teman Facebook bahwa  suku-suku tersebut berbasis klan. Mau mengerjakan sesuatu di sana ? Pegang nurmadhar-nya, karena tangan-tangan pemerintahan yang sah tidak menjangkau mereka.

Satu pengertian lagi bahwa  suku-suku  yang ditulis dalam buku ini adalah penganut Islam moderat, jauh dari gambaran Islam model Taliban. Sebagian adalah penganut mazhab Ismailiyah.  Saat Mortenson bekerja  di Pakistan, sejumlah syaikh dari Arab mensuplai banyak uang untuk mendirikan semacam madrasah Wahabi di pedalaman. Mereka inilah yang akan menjadi “stok” kombatan di Afgaistan. Sebagian nurmadhar tidak suka tapi mereka tidak berdaya karena keterhimpitan ekomomi dan akses partisipasi politik.

Bagitu, #Kisahku_dengan_buku kali ini.  Energi baik akan ketemu energi baik.  Tentu tidak sesederhana itu  karma bekerja.  Saya   tidak meyakini   hal seperti itu sebagai sebuah kepastian. Hal baik tidak selalu berbuah baik. Tapi, saya selalu bersyukur jika kebaikan dan kemurahan hati saling bertaut dan berbuah indah bagi pemuliaan kemanusiaan.