Medsos itu begitu
dahsyat. Jalan-jalan, makan-makan, lalu foto-foto, unggah ke medsos telah
menjadi ritual sebagian dari kita. Tempat-tempat
yang istilahnya instagramable atau facebookable atau apalah terus diburu. Jalan-jalan bukan
lagi sebuah kemewahan.
Tempat yang dulu mblusuk, sunyi sepi, tak ada transportasi
kini mejadi ramai oleh turis. Itu pemikiran saya ketika akhir tahun 2017 ke
Breksi. Saya baru tahu kalau tempat yang bersliweran muncul di akun medsos
saya, dipamerkan oleh teman virtual saya, letaknya cuma di belakang rumah masa
kecil saya.
Salah satu spot Breksi |
Candi Ijo |
Lho kok bisa? Saya sudah
lama meninggalkan kampung saya halaman saya. Sesekali ke Yogyakarta, biasanya
urusan kerja. Kadang urusan keluarga juga. Karena saya menghabiskan belasan tahun hidup saya di seputaran provinsi istimewa ini, wisata ke
Yogyakarta bukan menjadi prioritas. Datang, selesaikan urusan, pulang ke
Sumatera lagi.
Nah ini. Waktu ramai-ramai
menengok kampung halaman, anak-anak minta sedikit jalan-jalan ke seputaran
Prambanan. Breksi jadi pilihan. “Mung ngetan
sithik kuwi, lho. Pungkruk,” kata adik ipar saya. Astaga.
Ternyata Breksi itu terletak di Gunung Ijo, pegunungan kapur yang menjadi batas
wilayah Prambanan DIY dan Prambanan Klaten.
Pungkruk adalah tanah
gundukan di lereng Gunung Ijo, tak jauh dari sungai di mana kami biasa mandi sembari memandikan sapi. Sepanjang sungai itu banyak mata air. Salah satunya
kedhung Kerten di mana penduduk Majasem, Marangan dan Gunung Ijo, biasa berinteraksi.
Samar saya ingat, dekat jembatan kecil itu dulu ada plengkung batu. Juga ada sisa
rel lori tebu. Mungkin peninggalan zaman Belanda dulu. Sisa plengkung itu
dimanfaatkan oleh bude saya untuk dijadikan warung es gosrok.
Waktu remaja, saya
sekolah dan kost di Yogyakarta, biasanya saya ke kampung setiap hari Minggu dan
liburan sekolah. Asal usul saya, Majasem, adalah dusun terakhir sebelum jalur menanjak
ke tebing Breksi. Tentu saja saya pernah ke tempat ini, jauuuh sebelum tempat
ini dipopulerkan oleh dunia medsos.
Dulu kami menyebutnya
Gunung Ijo saja. Ada candi yang juga kami sebut sebagai Candi Ijo. Tempatnya silir,
sejuk. Kalau berjalan ke Sendang Sriningsih kami pasti berhenti sejenak di
sini. Dekade 80-90 –an sangat sepi tempat ini. Kendaraan umum tak ada. Hanya sesekali
kami berpapasan dengan penduduk gunung ini yang pulang atau pergi ke pasar di
pedesaan bawah sana, pasar Gendheng atau yang lebih besar pasar Prambanan.
Iya, kami anak-anak muda
remaja di kawasan stasi Prambanan selatan itu biasa berjalan kaki ke Sendang
Sriningsih saat bulan Maria, April dan Oktober, juga pada saat Prapaskah.
Sebagian dari kami menganggap perjalanan ke Sriningsih sebagai salah satu laku
mati raga. Capek lho. Jalan mendaki,
panas, sepi, tak ada orang jualan. Kami mendaki lereng Gunung Ijo di sisi DIY
sampai puncaknya, lalu menuruni lereng sebelah timur yaitu sisi Klaten. Dulu ya
hanya sendang saja dengan gua Maria sederhana. Oh ya, seingat saya ada salib
besar tegak di salah satu pungkruk.
Pulangnya penderitaan bertambah. Kami biasanya berangkat pagi. Jadi pulangnya lewat
sedikit dari tengah hari. Sengangar. Kalau haus kami minta minum ke rumah
penduduk di desa sekitar. Dengan ramah mereka akan mempersilahkan kami ke
dapur, menyiduk air dari genthong, dan meminumnya langsung dengan
siwur. Sesederhana itu. Makanya saya sebut sebagai
salah satu laku mati raga.
Omong-omong tentang mati
raga. Teman kost saya di Sagan dulu ada lho
yang tapa ngemis. Jadi tiap hari
Jumat masa Prapaskah dia tidak masak. Seharian itu dia makan intip, kerak nasi. Itupun hasil dari
minta-minta teman se-kost. Dikasih nasi
dia menolak. Nanti malam, sebelum
berangkat ibadat Jalan Salib ke kapel Panti Rapih, dia mulai ngliwet, masak nasi. Selesai ibadat dia
lari terbirit-birit, “Liwetku selak
gosong....” Terbang dah dia dengan semangat laskar berani
makan. (Duh, Sugik.... di mana kamu
sekarang ???).
Kembali tentang Breksi.
Saya senang ada objek wisata terkenal dekat kampung saya. Semoga saja awet. Maksud
saya bukan seperti obor blarak, terang membara sejenak lalu mangkrak. Kesan saya
objek ini masih dikelola sederhana. Mungkin ke depannya bisa lebih ditingkatkan.
Misalnya ada saung-saung untuk makan, ada sarana umum yang baik misal toilet,
dsb.
Sementara yang saya
lihat, para turis hanya asyik berfoto (untunglah) di tebing batu kapur itu. Lalu
berangkat lagi menanjak ke Candi Ijo. Untungnya ada banyak jeep yang bisa
disewa untuk ke sana. Dari Candi Ijo di ketinggian kita bisa menyaksikan
keindahan panorama Yogyakarta.
Apakah objek sederhana
begini bisa awet terkenal bahkan ke manca negara? Mengapa tidak! Di Vietnam,
yang disebut fairy stream itu ya cuma
sungai dangkal, bermuara ke laut. Dasarnya pasir coklat lembut. Lalu yang
namanya red sand dune itu cuma
hamparan pasir coklat seluas kira-kira ¾ hektare. Tapi turis-turis manca datang
dan terpesona. Mui Ne menjadi salah satu kota kecil bernuansa internasional. Ke
depannya mungkin Prambanan bisa begitu. Asal dijaga agar tetap menjadi sumber
ekonomi rakyat saja, dan tidak ditelikung konglomerasi.
Sekarang, kalau anda
seorang solo traveler gimana
caranya datang ke tempat ini ? Gampang. Dari Yogyakarta naik bus Transjogja,
turun di pasar Prambanan. Lalu naik ojek motor sampai Breksi. Dari pasar Prambanan
arahnya ke selatan (jalan raya Prambanan – Piyungan), belok timur di dusun
Gumuk. Jaraknya 6 km saja. Kendaraan umum dari dulu sampai sekarang susah.
Nanti di Breksi kalau mau naik lagi ke candi Ijo ada jeep yang bisa disewa. Saya
pikir lebih baik anda sewa ojek beberapa jam untuk menikmati 3 objek, candi
Banyunibo, lalu Breksi, candi Ijo, pulang.
Enjoy the nature. Enjoy your life.
Breksi |
Di Breksi |
Di Breksi |
Breksi |
Candi IJo |
Tiba malam , Gunung Ijo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar