Senin, 15 Januari 2018

Breksi, Menjadi Turis di Kampung Sendiri

Medsos itu begitu dahsyat. Jalan-jalan, makan-makan, lalu foto-foto, unggah ke medsos telah menjadi ritual sebagian dari kita.  Tempat-tempat yang istilahnya instagramable atau facebookable atau apalah terus diburu. Jalan-jalan bukan lagi sebuah kemewahan.

Tempat yang dulu mblusuk, sunyi sepi, tak ada transportasi kini mejadi ramai oleh turis. Itu pemikiran saya ketika akhir tahun 2017 ke Breksi. Saya baru tahu kalau tempat yang bersliweran muncul di akun medsos saya, dipamerkan oleh teman virtual saya, letaknya cuma di belakang rumah masa kecil saya.  
Salah satu spot Breksi

Candi Ijo

Lho kok bisa? Saya sudah lama meninggalkan kampung saya halaman saya. Sesekali ke Yogyakarta, biasanya urusan kerja. Kadang urusan keluarga juga. Karena saya menghabiskan  belasan tahun hidup saya di seputaran provinsi istimewa ini, wisata ke Yogyakarta bukan menjadi prioritas. Datang, selesaikan urusan, pulang ke Sumatera lagi.

Nah ini. Waktu ramai-ramai menengok kampung halaman, anak-anak minta sedikit jalan-jalan ke seputaran Prambanan. Breksi jadi pilihan. “Mung ngetan  sithik  kuwi, lho. Pungkruk,” kata adik ipar saya. Astaga. Ternyata Breksi itu terletak di Gunung Ijo, pegunungan kapur yang menjadi batas wilayah Prambanan DIY dan Prambanan Klaten.

Pungkruk adalah tanah gundukan di lereng Gunung Ijo, tak jauh dari sungai di mana kami biasa mandi sembari memandikan sapi. Sepanjang sungai itu banyak mata air. Salah satunya kedhung Kerten di mana penduduk Majasem, Marangan dan Gunung Ijo, biasa berinteraksi. Samar saya ingat, dekat jembatan kecil itu dulu ada plengkung batu. Juga ada sisa rel lori tebu.  Mungkin peninggalan zaman Belanda dulu. Sisa plengkung itu dimanfaatkan oleh bude saya untuk dijadikan warung es gosrok.

Waktu remaja, saya sekolah dan kost di Yogyakarta, biasanya saya ke kampung setiap hari Minggu dan liburan sekolah.  Asal usul saya,  Majasem,   adalah dusun terakhir sebelum jalur menanjak ke tebing Breksi. Tentu saja saya pernah ke tempat ini, jauuuh sebelum tempat ini dipopulerkan oleh dunia medsos.

Dulu kami menyebutnya Gunung Ijo saja. Ada candi yang juga kami sebut sebagai Candi Ijo. Tempatnya  silir, sejuk. Kalau berjalan ke Sendang Sriningsih kami pasti berhenti sejenak di sini. Dekade 80-90 –an sangat sepi tempat ini. Kendaraan umum tak ada. Hanya sesekali kami berpapasan dengan penduduk gunung ini yang pulang atau pergi ke pasar di pedesaan bawah sana, pasar Gendheng atau yang lebih besar pasar Prambanan.

Iya, kami anak-anak muda remaja di kawasan stasi Prambanan selatan itu biasa berjalan kaki ke Sendang Sriningsih saat bulan Maria, April dan Oktober, juga pada saat Prapaskah. Sebagian dari kami menganggap perjalanan ke Sriningsih sebagai salah satu laku mati raga. Capek lho. Jalan mendaki, panas, sepi, tak ada orang jualan. Kami mendaki lereng Gunung Ijo di sisi DIY sampai puncaknya, lalu menuruni lereng sebelah timur yaitu sisi Klaten. Dulu ya hanya sendang saja dengan gua Maria sederhana. Oh ya, seingat saya ada salib besar tegak di salah satu pungkruk.

Pulangnya  penderitaan bertambah. Kami  biasanya berangkat pagi. Jadi pulangnya lewat sedikit dari tengah hari. Sengangar. Kalau haus kami minta minum ke rumah penduduk di desa sekitar. Dengan ramah mereka akan mempersilahkan kami ke dapur, menyiduk  air dari genthong, dan meminumnya langsung dengan siwur.  Sesederhana itu. Makanya saya sebut sebagai salah satu laku mati raga. 

Omong-omong tentang mati raga. Teman kost saya di Sagan dulu ada lho yang tapa ngemis. Jadi tiap hari Jumat masa Prapaskah dia tidak masak. Seharian itu dia makan intip, kerak nasi. Itupun hasil dari minta-minta teman se-kost. Dikasih nasi  dia menolak.  Nanti malam, sebelum berangkat ibadat Jalan Salib ke kapel Panti Rapih, dia mulai ngliwet, masak nasi. Selesai ibadat dia lari terbirit-birit, “Liwetku selak gosong....”  Terbang dah dia dengan semangat laskar berani makan. (Duh,  Sugik.... di mana kamu sekarang ???). 

Kembali tentang Breksi. Saya senang ada objek wisata terkenal  dekat kampung saya. Semoga saja awet. Maksud saya bukan seperti obor blarak, terang membara sejenak lalu mangkrak. Kesan saya objek ini masih dikelola sederhana. Mungkin ke depannya bisa lebih ditingkatkan. Misalnya ada saung-saung untuk makan, ada sarana umum yang baik misal toilet, dsb.

Sementara yang saya lihat, para turis hanya asyik berfoto (untunglah) di tebing batu kapur itu. Lalu berangkat lagi menanjak ke Candi Ijo. Untungnya ada banyak jeep yang bisa disewa untuk ke sana. Dari Candi Ijo di ketinggian kita bisa menyaksikan keindahan panorama Yogyakarta.

Apakah objek sederhana begini bisa awet terkenal bahkan ke manca negara? Mengapa tidak! Di Vietnam, yang disebut fairy stream itu ya cuma sungai dangkal, bermuara ke laut. Dasarnya pasir coklat lembut. Lalu yang namanya red sand dune itu cuma hamparan pasir coklat seluas kira-kira ¾ hektare. Tapi turis-turis manca datang dan terpesona. Mui Ne menjadi salah satu kota kecil bernuansa internasional. Ke depannya mungkin Prambanan bisa begitu. Asal dijaga agar tetap menjadi sumber ekonomi rakyat saja, dan tidak ditelikung konglomerasi.

Sekarang, kalau anda seorang solo traveler gimana caranya datang ke tempat ini ? Gampang. Dari Yogyakarta naik bus Transjogja, turun di pasar Prambanan. Lalu naik ojek motor sampai Breksi. Dari pasar Prambanan arahnya ke selatan (jalan raya Prambanan – Piyungan), belok timur di dusun Gumuk. Jaraknya 6 km saja. Kendaraan umum dari dulu sampai sekarang susah. Nanti di Breksi kalau mau naik lagi ke candi Ijo ada jeep yang bisa disewa. Saya pikir lebih baik anda sewa ojek beberapa jam untuk menikmati 3 objek, candi Banyunibo, lalu Breksi, candi Ijo, pulang. 

Enjoy the nature. Enjoy your life.  

Breksi
Di Breksi













Di Breksi

Breksi

Candi IJo
Tiba malam , Gunung Ijo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar