Selasa, 30 April 2019

Pak Direktur dan Saya


Saya berjumpa dengannya segera sesudah mendaratkan kaki di kampus EAPI, Ateneo de Manila University. Jam dua siang saya tiba. Hanya meletakkan koper di kamar, tanpa istirahat, Romo Satu Manggo langsung memaksa saya pergi ke Marikina untuk membeli keperluan sehari-hari di asrama.
“Ini Pak Direktur,” kata Romo Manggo, mengenalkan saya pada lelaki bertubuh kecil, berkulit legam. Ia hanya beberapa sentimeter lebih tinggi dari saya yang kelewat mungil ini. Erat ia menjabat tangan saya. Ia bicara dengan volume suara keras. Artikulasi bahasa Inggrisnya sangat baik, meski tetap saja asing di telinga saya.
Namanya Francis Jeyaraj Rasiah, seorang Jesuit berkebangsaan Sri Lanka. Usianya sekitar lima puluh tahun. Ia minta dipanggil Jeya, tanpa sebutan pastor, mister atau apapun. Sebutan-sebutan kehormatan di depan nama membuat orang-orang tak bisa berdialog dalam suasana egaliter, begitu alasannya. Jadi, “ Just Jeya.”
“Come, come,” katanya, lantas menggiring kami berdua ke ruang kerjanya, setelah tahu saya akan menular dolar untuk belanja. “Saya beri kamu rate tertinggi. Saya memang sedang membutuhkan dolar,” katanya sambil menyerahkan uang peso. “Besok, datanglah ke ruangan saya. Saya ingin sedikit berbicara denganmu,” ia memungkasi pertemuan siang itu.
Hari-hari selanjutnya saya tak pernah punya keberanian mengetuk pintu ruang kerjanya. Saya khawatir tak mampu memahami bahasa Inggrisnya secara utuh. Bagaimana pun saya telah bersiap, bahasa Inggris saya lebih banyak hasil dari belajar otodidak. Artinya Inggris pasif, hasil dari membaca buku-buku.
Jadi saya lebih baik menghindar. Sampai suatu saat ia memergoki saya di salah satu bagian kampus. Tak bisa menghindar lagi. Saya pun terpaksa mengikuti dia ke ruang kerjanya. Kekhawatiran saya terbukti. Tiap kalimatnya harus diulang tiga kali sampai saya benar-benar paham. “Pardon me..., Sorry, Uhm... again...,” terus begitu. Tapi dia sabar dan tidak pernah mempermalukan.
Mungkin tepatnya, saya takut kepadanya, minder, sebagaimana orang yang biasa kerja di pedalaman Sumatera , tiba-tiba didaratkan di salah satu kampus terbaik di Asia. Beberapa bulan kemudian, setelah saya mampu menangkap berbagai logat bahasa Inggris, saya tetap saja menghidari dia.
Asrama kami dihuni lebih dari 70 orang dari berbagai bangsa Asia dan Afrika, sedikit Eropa. Tiga kali kami makan bersama di ruang yang luas. Saya tahu Pak Direktur biasa duduk dekat meja prasmanan besar. Selalu ada mahasiswa yang menemani dia di situ. Saya, sesudah menyelesaikan antrian cepat-cepat melaluinya, mencari meja yang jauh...jauh...darinya.
Pada suatu makan malam, seperti biasa saya mengusung baki makan saya lewat di dekatnya. Seorang sahabat Bangladesh memanggil saya. “Vero, duduk sini.” --- “Ah dia selalu tidak mau duduk dengan saya,” kata Pak Direktur. Huuu.... malu saya. Jadilah saya duduk di situ. Ia menawarkan nasi kuning khas India pada kami, dengan sedikit ngedumel.
“Suatu saat, saya memuji bahwa nasi kuning ini enak. Selanjutnya, tiap hari juru masak itu membuatkan nasi kuning untuk saya. Ini seperti sebuah hukuman,” katanya. Saya tak mampu menahan tawa. Terkikik-kikik gembira. “That’s yours. Finish it, hikhikhikhik....” Itulah, saya dulu sangat spontan, sering salah ekspresi, dan lupa bertingkah sopan.
Bulan-bulan selanjutnya saya tak punya banyak alasan untuk menghindarinya. Bahkan berani mengusilinya. Tapi sungguh, tidak frontal. Bagaimanapun saya tetap orang kampung yang pemalu.
Pak Direktur orangnya tegas. Suatu saat ia mengancam para mahasiswa yang melakukan pelanggaran. “Saya tak akan segan mengirim kalian pulang ke negaramu, kepada uskupmu, kepada provinsialmu,” katanya. Besok malamnya saya ketemu dia sedang merokok di halaman. “Jeya, I know you broke the rules. You often smoke in your room. I will send you back to Sri Lanka,” saya menirukan gayanya yang sok tegas. Ia menatap saya dengan jenaka, menahan tawa, sampai tersedak asap rokoknya.
Lain kali Pak Direktur benar-benar muangkel pada saya. Saat itu liburan musim panas, sekitar April. Banyak teman telah menyelesaikan modul pelajaran pastoral ministry dan pulang ke negara masing-masing. Semeter pendek musim panas akan dimulai dua minggu kemudian. Saya sebagai mahasiswa beasiswa awam melarat tak bisa ke mana-mana. Kebanyakan teman saya adalah para suster dan pastor, sehingga mereka bisa berlibur di komunitas masing-masing di se-antero Philipina. Kampus dan asrama sangat senyap.
Dalam kejenuhan, salah satu yang saya lakukan adalah menghias ruang doa. Kami punya banyak ruang doa, karena terbiasa misa harian dengan grup kecil, 8-10 orang. Lha ini kan sekolahnya para pastor. Saya saja yang kesasar masuk sini. Demi menghias ruang-ruang tersebut, saya mencari bunga-bunga di areal kampus yang amat luas, puluhan hektar. Saya sampai merambah jurang sepi di depan rumah Jesuit.
Nah ini.... yang menyulut kejengkelan Pak Direktur. Saya juga memetik bunga-bunga di pelataran EAPI. Tanpa saya sadari, ia mengintip dari ruang kerjanya. Jendelanya dia buka sedikit. “Vero, jadi kamu yang selalu mencuri bunga-bungaku. Kamu tahu tidak, bibit tanaman itu saya beli dari provinsi lain.”
“Oh, saya ndak tahulah. Ini cuma mawar kecil-kecil begini dan kembang sepatu, yang di kampung saya bisa tumbuh sendiri tanpa ditanam. Apa sih salahnya kalau dipetik untuk menghias ruang-ruang doa.” Saya ngeyel. Ia cuma geleng-geleng kepala, kehabisan kata-kata.
Tahun 2007 saya pulang dan tak pernah berkontak lagi dengannya. Ia tak punya facebook. Kata teman-teman ia pulang ke Sri Lanka, lalu sempat menjadi provinsial Serikat Jesuit di sana. Saya tak tahu di mana dia kini berada. Mungkin saja masih di negaranya.
Saya kehabisan kata-kata. Apa yang baru saja terjadi, jauh di luar kemampuan saya menalarnya.