Jumat, 09 Februari 2018

KEKERASAN TERHADAP GURU

Gambar dari http://psychlearningcurve.org/violence-against-teachers/

Kekerasan terhadap guru (pengajar) terjadi karena posisinya bisa jadi memang rentan terhadap pemangku kepentingan yang lain di tempat ia bekerja. Saya pernah merasakannya maka bisa bercerita.

Dalam rentang waktu yang lumayan lama saya pernah mengajar di perguruan tinggi swasta. Bukan sok-sokan untuk aktualisasi diri atau apalah. Tapi karena sebagai buruh rendahan saya harus srobot sana srobot sini supaya asap dapur bisa ngebul selama sebulan. Orang tidak bisa hidup dari Sabda Tuhan saja toh?

Saya mengendalikan diri untuk tidak berpikir dan tidak bertindak rasis. Tapi, maaf saya harus mengatakan, tiap daerah itu mempunyai karakter yang khas. Umumnya begitu. Orang di Sumatera beda dengan di Jawa. Lebih keras tentunya, dan itu harus disikapi dengan cara yang lebih tegas pula. Saya menjalani SMA dan perguruan tinggi di Yogyakarta. Di sana secara umum saya bisa katakan, para siswa dan mahasiswa mempunyai penghormatan yang baik terhadap para pengajar. Peserta didik yang datang dari berbagai tempat di Indonesia lebih punya etos belajar yang kuat.

Di tempat saya pernah bekerja suasananya berbeda. Masuk kelas suasana ribut bukan kepalang itu sudah biasa. Disuruh masuk tepat waktu susahnya bukan main. Diberi buku referensi jangan harap akan dibaca. Di tengah suasana begini tentu ada sejumlah mahasiswa yang punya kualitas istimewa tentunya.

Sebagai pengajar saya dan juga pengajar yang lain menghadapi tekanan dari pihak lembaga pula. Harus mampu meng-handle kelas, harus mampu membuat suasana belajar mengajar menjadi menarik, dan hasil  UAS mahasiswa harus tinggi. Kalau itu tidak terpenuhi, yang salah ya si pengajar.
Setiap pertengahan semester diedarkan angket kepada mahasiswa untuk menilai pengajar. Aspek yang dinilai tidak sekedar bidang ilmu yang diampunya saja, tetapi juga meliputi misalnya, apakah pengajar bisa mengendalikan emosi, bisa memberi wawasan dan motivasi, bisa melucu sehingga mahasiswa tidak mengantuk, bisa punya waktu untuk diminta konsultasi di luar kelas, dll. Pokoknya pengajar itu harus seorang yang cerdas secara keilmuan sekaligus seorang motivator dan seorang penghibur.

Ketika tahun pertama mengajar hasil angket saya ancur-ancuran. Saya dinilai jutek, tak bisa melawak,  mata kuliah saya (Bahasa Indonesia) tak berguna,  pelit senyum, pelit nilai. Nah, di jurusan sekretaris,  di sini mahasiswinya cuantik dan modis, saya dinilai berpenampilan kacau. Rambut sering acak-acakan, warna baju atas dan bawah sering tidak match-in, sudah pendek gemuk eh tidak mau pakai sepatu berhak, dll. Seiring waktu, angket untuk saya  baik-baik saja. Satu yang sulit berubah, saya dinilai terlalu serius dan tidak pandai bercanda sehingga mahasiswa sungkan akrab. Ok-lah. 

Hasil angket yang buruk bisa membuat pengajar magang ditendang. Juga sama akibatnya bagi pengajar paruh waktu yang biasanya cuma dikontrak per satu semester. Maka tidak heran banyak pengajar yang sangat berusaha untuk mengambil hati mahasiswa.

Karena merasa butir-butir angket itu bisa menghasilkan penilaian yang kurang objektif, suatu waktu saya mengedarkan selembar kertas. Saya minta mahasiswa memberi penilaian secara terurai pada dua hal saja yaitu materi pengajaran dan cara mengajar. Selanjutnya mereka boleh mengkritik dan memberi usulan. Nah di sini cerita dimulai.

Saya minta seorang mahasiwa mengumpulkan kertas-kertas tanpa nama tersebut. Seorang mahasiswi (sampai sekarang pun saya ingat wajahnya tapi lupa namanya) memberikan kertasnya langsung kepada saya. Hanya sebuah kalimat ditulisnya, “Saya tidak layak mendapat nilai C.”

Semula saya tidak ambil pusing dengan kertas itu. Seusai UAS saya hitung nilai dia ya hanya cukup untuk mendapat nilai C. Tetapi, tak berapa lama setelah KHS dibagi saya dipanggil ketua jurusan. “Bu, ada telepon dari salah satu orang tua mahasiswa yang mengatakan bahwa nilai pelajaran Ibu di salah satu kelas C semua. Saya sudah periksa daftar nilai Ibu, itu tidak benar,” katanya.  Ketua jurusan menyarankan saya menghadap pemilik perguruan.

Bapak X, pemilik perguruan itu, sudah pula ditelpon oleh yang bersangkutan. Tanggapannya pada saya baik, dan menganggap saya tidak bersalah . Tetapi saya diminta menyelesaikan masalah ini nyaris sendiri. Ia lalu memberi saya nomor telepon ibu itu, yang mengaku seorang peserta program S3 Universitas Padjadjaran. “Undang dia datang ke sini dan siapkan nilai-nilai anaknya,” kata Pak X.

Tiga hari terus-terusan bolak-balik saya telpon nomor itu. Tak ada sahutan sama sekali. Saya lapor pada yang berkepentingan. “Eh, cuma mahasiswa kurang ajar rupanya,” kata Pak X. Masalah selesai.
Sebenarnya seberapa penting angket semacam itu? Bisa penting sekali. Perguruan tinggi (swasta) bisa tak laku kalau mahasiswanya sulit lulus, atau IPK pada ijazahnya kecil-kecil. Mahasiswa tahu itu. Maka sebagian mereka jadi punya “senjata” untuk  menekan pengajar. Sebego dan sendableg apapun mereka harus diluluskan toh? Mau jadi apa perguruan tinggi yang mahasiswanya tak lulus-lulus? Mungkin begitu yang ada di benak mereka.

Pengajar jadi terhimpit dari dua pihak. Mahasiswa menuntut pengajar yang kompromistis, perguruan tinggi menuntut pengajar berkualitas sekaligus “dicintai” mahasiswa.  Dan kalau sudah masalah perut, si pengajar berakrobatlah untuk berusaha menjadi manusia super.

Oh, ada lagi kekerasan atau perundungan yang saya alami. Pernah dalam suatu kelas ada beberapa orang jadi biang ribut. Salah satunya menggulung celana panjangnya sebatas lutut, duduk tepat di depan saya. Kelas yang lain pernah beberapa mahasiswa sengaja membunyikan ponsel untuk memancing keributan. Pernah terjadi dua mahasiswa gampar-gamparan di kelas saya. Untung saya cukup senior saat itu dan dianggap mampu meng-handle kelas. Jadi saya tidak disalah-salahkan. Juga saya cukup berani memberi nilai E pada jenis mahasiswa begini. Suatu saat datang seorang wali mahasiswa menanyakan kenapa anaknya tidak lulus (yang ini  sopan, setelah diterangkan dia mengerti. Malah cerita tentang kebiasaan memanjakan anak lelaki utamanya sulung pada sukunya).

Saya yakin bahwaA saya alami dialami pula oleh para pengajar di perguruan tinggi swasta yang lain. Atau juga di sekolah menengah. Saya cukup paham bahwa untuk pengajar muda dibutuhkan keberanian untuk bersikap tegas. Satu lagi, mungkin perlu dilatih bela diri. J. Serius J !