Saya sampai pada Bab "Seks dan
Kaum Lajang Arab". Tiba-tiba ingatan saya melayang kepada Dewi Persik, pesohor
dangdut yang sering kontroversial itu. Dalam suatu tayangan acara gossip yang
disiarkan oleh televisi swasta, lupa tahun berapa, ia mengatakan bahwa baru saja pulang dari Kairo untuk menjalani
operasi reparasi selaput dara. Ada sponsor yang membiayai, katanya. Dengan
bersemangat ia berdalih,”Kalau tujuannya untuk membahagiakan suami ya nggak apa-apa.”
Sekarang saya tahu kenapa Kairo. Fokus saya bukan Dewi
Persiknya ya. Reparasi (atau apalah istilah yang lebih tepat) merupakan praktik
kedokteran yang yang berakar pada tradisi dukhla
di Mesir. Pada malam pertama sepasang pengantin dituntut untuk menunjukkan
bukti keperawanannya bagi yang perempuan dan kejantanannya bagi laki-laki.
Bukti yang harus dipertintinkan kepada keluarga adalah secarik kain yang
bernoda darah.
Dukhla arti
harafiahnya “masukan” merujuk pada penetrasi alat kelamin laki-laki. Dukhla baladi adalah tradisi di
pedesaan, di mana seorang “daya” semacam dukun pengantin, akan menusuk vagina pengantin perempuan dengan
jari atau pisau cukur yang dibungkus kain putih. Laf al-sharaf, kain kehormatan, ini akan ditunjukkan kepada kerabat
sebagai bukti bahwa mereka telah menjaga nama baik.
Dukhla afrangi
dipraktikkan di kota-kota besar. Intinya sama, pertunjukan keperawanan. Bedanya
yang terkahir ini lebih personal. Jadi para “pengamat” berada di luar kamar
pengantin. Sesudah persetubuhan, esok
paginya keluarga mempelai perempuan akan mengambil selembar kain kehormatan itu
dan menunjukkan kepada yang berwenang mengetahui.
Dukhla berlangsung
di Mesir karena kehormatan keluarga berkait dengan keperawanan anak perempuan. Kaum
ibu akan menjaga anak perempuannnya agar selaput membran tipis itu tidak robek.
Kalau gagal melindungi selaput dara,
maka ada cara baru yaitu operasi perbaikan selaput dara. Caranya cukup mudah.
Dokter akan membuat jahitan sepanjang bukaan vagina, yang akan memberi
resistensi palsu dan perdarahan pada hubungan seksual pertama.
Menurut penulis buku ini, Shereen el Feki, operasi memakan
biaya 200 pound Mesir. Itu yang paling
murah. Yang lebih berkualitas biayanya sekitar 700 – 2000 pound. Kemungkinan
masih ada tambahan biaya tutup mulut. Beberapa ginekolog laki-laki memeras pasien dengan meminta
imbalan hubungan seksual demi merahasiakan operasi tersebut.
Menanggapi praktik operasi selaput dara, otoritas keagamaan
di Mesir terbelah dua. Satu pihak mengatakan bahwa hal ini haram. Hal ini bukan
saja karena menipu suami tetapi juga membuka kemungkinan adanya ayah yang
salah. Maksudnya tentu jika perempuan tersebut telah hamil sebelum operasi.
Sebagian ulama bisa
menerima operasi itu, karena menganggap selaput dara yang sobek bukanlah bukti
positif perzinahan. Lagi pula, menolak
operasi perbaikan selaput dara berarti menghalangi peluang si gadis untuk
menikah. Dengan demikian si perempuan ini akan menyalurkan energi seksualnya ke
hal-hal yang melanggar hukum. Salah satu ulama dari kelompok ini, Syekh Ali
Gomaa, pada 2007 mengeluarkan fatwa kontroversial yang membolehkan reparasi
selaput dara di luar akibat perkosaan.
Sebagian dokter
menghadapi dilema. Haruskah mereka berpartisipasi pada sesuatu yang bisa
dianggap penipuan terhadap suami; atau membantu seorang perempuan yang akan
menghadapi kesulitan besar jika pengalaman seksual sebelumnya terungkap ?
Apakah mereka sedang terlibat dalam praktik yang menopang patriarki ataukah
justru memberikan lebih banyak kebebasan pribadi kepada perempuan dengan
membantu mereka dalam urusan pembatasan sosial ini?
Para ginekolog di kawasan Arab konon mengetahui banyak
perempuan muda Arab yang cemas dan menginginkan pemeriksaan atas selaput dara
mereka. Hasil yang didapat adalah “sertifikat keperawanan” sebuah testimoni
yang ditandatangani dokter bahwa keperawanan mempelai perempuan adalah asli.
Sebenarnya sertifikat pranikah adalah hal lazim di Arab
untuk menguji penyakit menular seperti HIV dan hepatitis. Tapi dalam beberapa
kasus keluarga mempelai laki-laki menuntut lebih jauh. Mereka minta agar
mempelai perempuan disertifikasi seutuhnya (maksudnya test keperawanan asli
tadi) sebelum dilangsungkan persetubuhan. Tentu saja test macam itu melukai
perasaan dan menimbulkan beban etika, tidak saja terhadap calon mempelai wanita
tetapi juga dokter yang harus memeriksa.
Sekarang kembali ke Mbak Dewi Persik. Nyambung kan, kenapa
dulu ia pergi ke Mesir ? Ya karena praktik reparasi selaput dara itu merupakan
hal yang lumrah di sana, meski tak lepas dari kontroversi juga.
Seks & Hijab, Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Berubah, Shereen El Feki, Pustaka Alvabet 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar