Sabtu, 28 April 2018

Achadi, Menteri Transkopada Kabinet Sukarno Terakhir

Sedang menyelesaikan draft buku Napak Tilas. Pembukaan transmigrasi swakarya Gaya Baru dan Sumber Katon berkaitan pula dengan sejarah besar negeri ini.

repost dari : http://aladjai.blogspot.co.id/2013/08/dari-kenangan-makan-pagi-hingga.html?m=1





Oleh : Erni Aladjai

Lelaki sepuh itu saya jemput pada sebuah sore yang kelabu di Jalan Raya Condet—Kramat Jati, Jakarta Timur. Hujan menjuntai rinai saat dia masuk di gerbang kantor. Dia datang dengan mengenakan baju safari biru kelabu, peci dan sebuah tongkat bertangkai hitam. Tongkat itu selalu membantu dia ke mana-mana di usianya yang menginjak angka 81. Serta-merta, saya teringat dengan Bung Karno yang selalu membawa tongkat, konon tongkat itu benda pusaka, yang kemudian menghilang setelah Presiden Soekarno wafat pada Minggu yang kelabu 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Gatot Subroto dengan status tahanan. 

Kami kemudian menaiki tangga kantor, menuju kantor Pak Roso Daras di lantai dua. Pak Roso Daras adalah penulis buku-buku sejarah dan seorang yang Sukarnois. Bukunya yang berkali-kali cetak berjudul ‘Pidato Terakhir Soekarno’ yang diterbitkan penerbit Grasindo. Sudah sebulan lebih saya bekerja padanya, membantu mengerjakan beberapa hal di kantornya, termasuk mengetik naskah-naskah buku sejarah yang tak lagi dicetak ulang dan tak punya softcopy.
***
Lelaki sepuh yang saya jemput itu bernama Moch Achadi, dia lahir di Kutoarjo, 14 Juni 1931. Masa remajanya dihabiskan dengan bersekolah dan sebagai tentara gerilya di Kedu Selatan yang meliputi daerang juang Purworejo, Sumpyuh, Sidoarjo, Kebumen dan Gombong. 

Saya yakin, sebelum saya mengenal siapa dia dan kemudian berpapasan di bus atau di kereta api denganya, saya pasti sama dengan kebanyakan orang, mengira dia lelaki sepuh biasa, padahal dia punya peran penting mengantarkan bangsa ini bersatu di Era Soekarno dulu. Dia saksi sejarah yang masih hidup, masih sehat, masih segar ingatannya dan masih sanggup melakukan perjalanan jauh seperti yang dia lakukan di hari pertemuan pertama kami, dia berangkat dari rumahnya, di Sawangan, Depok dengan naik angkot lalu berganti bis ke Jakarta Timur. Sungguh perjalanan yang jauh, sejauh Pangkep-Makassar. Saya sendiri, selalu mengeluh dengan perjalanan di Jakarta, macet, terburu-buru dan sesak di dalam metro mini, kereta atau kopaja. 

Dan inilah cerita yang saya coba tulis kembali dari kenangan Moch Achadi akan Bung Karno :

Saat itu tahun 1959, musim semi tengah berlangsung di London, Moc Achadi yang berusia 28 tahun ketika itu  tengah memersiapkan ujian akhirmya di University Of Reading, Oxford, jurusan ekonomi politik. Dia yang sedang menulis, sontak terkejut. Bunyi telepon berdering di kamar apartemennya. Telepon dari Sunaryo SH, Kepala Keduataan Besar Republik Indonesia (KBRI).

“Di, Pak Subandrio meminta kamu berangkat ke Denmark dan menemui Presiden Soekarno di sana,” begitu kata Kepala KBRI Sunaryo pada Moch Achadi. Dr Subandrio sendiri ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI. “Di” adalah panggilan Moch Achadi.

Moch Achadi, diminta bertemu Presiden Soekarno karena sebagai ketua presidium Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Se-Eropa ketiga yang akan digelar di Paris. 

Sehari sebelum dia berangkat ke Kopenhagen, teman-temannya yang baru lulus dari Akademi Angkatan Laut Negeri Belanda (Den Halder) yang mendapat tugas belajar menjadi pilot pesawat anti kapal selam (GANET) mendengar dia akan menemui Presiden Soekarno, maka mereka meminta Achadi datang ke rumah Kolonel Sutoyo Siswomiharjo di London untuk mendengar amanat yang mereka titip lewat Moch Achadi---untuk disampaikan pada Presiden Soekarno.

Di rumah Atase Militer KBRI, Kolonel Sutoyo Siswomiharjo itulah, pertemuan antara Moch Achadi dan perwira-perwira angkatan laut tersebut berlangsung. Pertemuan itu dipimpin Sundoro Samsuri dan Pinky Prawiradirjo—yang mengungkapkan bahwa siswa-siswa Angkatan Laut diminta pulang ke tanah air dan ditahan karena dianggap menentang perintah KAS AL. Kesepatakan terjadi, Moch Achadi bersedia menyampaikan pesan para perwira angkatan laut.

***
Moch Achadi berangkat ke Kopenhagen bersama kawannya bernama Burmona. Dia tiba pukul delapan pagi di hotel tempat Presiden Soekarno menginap. Oleh Dr Subandrio (Menlu RI) dan Chairul Saleh (mantan ketua PPI periode ke-dua), Achadi diantar ke kamar Bung Karno. 

“Bung, ini pemuda dari London,” kata Chairul Saleh memperkenalkan Achadi pada Bung Karno. Mendengar itu, Bung Karno lalu bangkit dari duduknya. Dia menatap Moch Achadi.
“Bagaimana pemuda-pemuda angkatan laut? Mau berontak yah?” ujar Bung Karno.

“Nanti dulu pak. Bapak selalu menganjurkan agar pemuda-pemuda berani mengoreksi kesalahan demi kebaikan. Pilot-pilot angkatan laut itu hanya menulis surat kepada KAS AL agar supaya WING penerbangan angkatan laut dipimpin penerbang bukan non penerbang, kenapa begitu saja disalahkan dan diminta pulang ke tanah air untuk ditahan. Saya sudah diajak bertemu mereka soal ini untuk kemudian saya laporkan pada bapak. Saya tanyakan kepada mereka, apakah mereka siap melaksanakan apapun yang menjadi komando Presiden, misalnya menyerbu Irian Barat dengan pesawat GANET? kembali belajar? atau pulang ke tanah air lalu ditahan. Mereka bilang, mereka siap melaksanakan apapun komando bapak,” ujar Achadi tegas.  Mendengar itu, sunyi sesaat mengapung di kamar hotel Bung Karno. Sang Presiden terdiam.
Beberapa saat kemudian, Sang Presiden meminta Achadi duduk. 

“Kirim utusan mereka, untuk bertemu saya di Roma nanti pada saat kunjungan saya ke sana,” tandas Bung Karno.
Inilah pertemuan yang kemudian mengantarkan Achadi berkesan di mata Bung Karno. Tahun 1964, Achadi yang telah diangkat sebagai pembantu Menteri Transmigrasi oleh Bung Karno diminta datang ke Istana Merdeka untuk makan pagi bersama para menteri lainnya termasuk menteri penerangan Mas Maladi.
Kenangan Achadi akan Bung Karno pada makan pagi itu adalah sikap Bung Karno yang menyendokkan sendiri nasi goreng ke piring-piring semua tamunya.
“Bagaimana cukup atau tambah lagi nasinya? Telur gorengnya satu atau dua?” sembari menyendok nasi, Bung Karno bertanya pada para tamunya.
“Menu makan pagi Soekarno itu sederhana, nasi goreng, telur mata sapi dan tempe goreng,” ujar Pak Achadi pada saya. 

***
Ada banyak kenangan Pak Moch Achadi akan Bung Karno. Kenangan-kenangan itu ia coba abadikan dalam sebuah catatanya yang berjudul “Pesan-Pesan dan Amanat Bung Karno yang Saya Terima Langsung.”
Suatu ketika saat kami berbincang, dia bertanya tentang asal saya.

“Kamu orang mana, Nak?” tanyanya pada saya.
“Saya orang Makassar,” kata saya. Saya sengaja mengaku dari Makassar karena saya menganggap Makassar adalah kampung saya juga. Dan lagipula sebagian besar orang Jawa itu tahunya Indonesia Timur, ya Makassar. Mendengar itu, Pak Moch Achadi pun teringat dengan ‘peristiwa Makassar’ yang terjadi pada Selasa malam tanggal 16 Januari 1962, ketika itu Bung Karno sedang di Makassar, saat itu Makassar masih bernama Ujung Pandang. Bung Karno yang sedang mengendarai mobil melewati Jalan Cenderawasih, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah granat yang meledak beberapa kali dalam iring-iringan presiden. Pada peristiwa itu Bung Karno selamat dan tetap memberikan kuliah umum kepada mahasiswa. 

“Ketika ‘Peristiwa Makassar’ itu terjadi, saya kemudian mendapat kabar dari ajudan Bung Karno bahwa Panglima Sulawesi Selatan Jenderal M Yusuf langsung sujud di kaki Bung Karno untuk memohon maaf,” ungkap Pak Moch Achadi pada saya. Pada tahun 1966, Bung Karno kemudian meminta jenderal M Yusuf menjabat sebagai rektor Universitas Bung Karno cabang Makassar. Pelantikan Jenderal M Yusuf sebagai rektor dilakukan oleh Moch Achadi sendiri.

Dalam beberapa literatur yang saya baca, selama masa jabatan Bung Karno, memang seringkali terjadi percobaan pembunuhan pada Sang Presiden. 

Kenangan lainnya adalah ketika Moch Achadi diangkat menjadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi, saat itu Bung Karno akan berpidato dalam pembukaan acara musyawarah transmigrasi. Bung Karno menanyakan pada Moch Achadi, kira-kira apa yang nanti dia sampaikan. 

“Di, saya harus pidato apa?” tanya Bung Karno pada Moch Achadi. Moch Achadi jelas tahu Bung Karno punya wawasan yang luas namun dia tetap bertanya pada bawahan sebagai bentuk penghargaan dan sikapnya yang ingin belajar pada siapapun. Maka Moch Achadi pun menjawab;

“Perlu menjadi perhatian Bapak, bahwa pengiriman transmigran-transmigran ke berbagai daerah di luar Jawa sambutannya tidak baik, apalagi para transmigran ini sudah berhasil dalam pembukaan hutan dan kegiatan pertaniannya maka selalu saja ada gangguan psikologis seperti kecemburuan dari penduduk asli karena mereka dianggap pendatang,” kata Moch Achadi.

‘Baik, baik, nanti saya akan singgung dalam pidato saya,” ujar Bung Karno. Dan memang saat Bung Karno berpidato dia menyampaikan hal itu.

“...Kita tak bisa mengatakan saya ini orang Bali asli, saya ini orang Jawa asli, saya orang Sulawesi asli atau saya ini orang Sumatera asli, karena yang benar adalah kita yang bermukin dari Sabang sampai merauke sebagaimana yang dikatakan dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928 adalah satu Bangsa Indonesia, jadi kalau ada orang Jawa datang ke Sulawesi dia adalah bangsa Indonesia, sebaliknya orang Sulawesi yang datang ke Jawa dia juga bangsa Indonesia. Oleh karena itu jangan menganggap orang yang datang dari pulau lain ke pulau yang kita huni adalah pendatang dan menganggap kita adalah penduduk asli,” ungkap Pak Moch Achadi meniru apa yang disampaikan Bung Karno saat itu. 

Menurut Moch Achadi, selain sikap Bung Karno yang menghidari sukuisme, Bung Karno adalah seorang yang humoris.
“Sikap humornya itu terjadi pada suatu hari kami menggelar rapat khusus di Bidang Ekonomi, saat itu Bung Karno membuat lelucon,” kenang Pak Moch Achadi. 

Dalam rapat untuk membahas langkah-langkah menghadapi subversi ekonomi yang mengacaukan kegiatan ekspor hasil produksi Indonesia ke luar negeri, karena banyak terjadi penyelundupan dari Riau ke Singapura dan dari Sulawesi Utara ke Filipina, sebelum rapat dimulai dalam ruangan itu telah hadir  Mentri Luar Negerei dr Subandrio, dr Leimena, Yusuf Muda, Adam Malik—sebagai menteri perdagangan dan Pak Moch Achadi sebagai menteri transmigrasi dan koperasi. Tiba-tiba Bung Karno bertanya pada setiap menteri yang hadir di situ;
“Siapa menteri-menteri di sini yang tidak punya “sekretaris” perempuan?” tanya Bung Karno. Moch Achadi langsung mengacungkan tangan. Langsung Bung Karno menjawab;
“Di, kau takut sama istrimu?” respon Bung Karno cepat.
“Tidak pak, soalnya saya belum ada yang cocok.”
“Tidak betul itu, engkau yang takut istri. Begini, Di, kalau istrimu marah-marah, kau diam saja macam patung kayu, sebab kalau kau ngomong sedikit akan dibalas panjang lebar oleh istrimu.” Mendengar candaan Bung Karno semua menteri langsung tertawa. 

Kenangan-kenangan Moch Achadi dengan Bung Karno yang lainnya adalah saat Bung Karno memanggilnya menghadap ke Istana Merdeka pada bulan Desember, Bung Karno mengutarakan niatnya untuk membuat Masjid yang kuat melebihi kuatnya candi borobudur hingga cucunya ratusan tahun kelak bisa berdoa di sana, hingga hari ini masjid itu masih kokoh dan begitu populer, bangunan mesjid itu memang dibangun dengan bahan-bahan bangunan yang kuat hingga tetap kokoh hingga hari ini, masjid itu bernama Masjid Istiqlal—masjid yang paling populer di Jakarta.
 
Moch Achadi muda saat berdialog dengan Bung Karno, ini potongan koran yang saya foto kembali dokumen Pak Achadi.
Dua tahun setelah kekacauan gerakan 30 September 1965 dan Supersemar yang misterius itu, karena ada versi bahwa supersemar muncul lantaran ada ancaman terselubung kepada Bung Karno, di versi lain mengatakan bahwa Soeharto terpaksa mengambil alih kekuasaan karena Bung Karno meninggalkan istana merdeka, namun dari versi Pak Moch Achadi yang hidup di zaman itu adalah saat rapat yang sedang membahas masalah keamanan Jakarta dan untuk membuat kondisi menjadi aman, Presiden Soekarno membuat surat perintah pada 11 Maret 1966 yang menugaskan pada Mayor Jenderal Soeharto melakukan pengamanan teknis dan Soeharto pun bersedia dan meminta izin untuk diberi kuasa melindungi para menteri, namun yang terjadi keesokan harinya, para menteri tersebut justru ditahan, salah seorang yang lolos dari penahanan itu adalah Pak Moch Achadi. Ditemani Slamet Saroyo dan AKBP Sadikun Sugiwaras, Pak Moch Achadi menuju Istana Merdeka melaporkan para menteri yang ditahan. Dan betapa kagetnya Presiden Soekarno.

Ora iso, Soeharto meminta izin kepada saya kemarin untuk mengawal menteri-menteri yang akan didatangi demonstran. Dia punya daftar menteri-menteri itu. Daripada terjadi insiden Soeharto mengajukan dirinya untuk mengawal para menteri,” ujar Bung Karno dengan keterkejutan yang belum hilang dari wajahnya.
“Kenyataannya mereka ditahan bukan dikawal, saya sudah cek sendiri dengan mengirim ajudan saya untuk menemui menteri penerangan Achmadi, tetapi dilarang sehingga tak bisa ketemu, saya dapat laporan rumah saya juga telah diduduki pasukan CPM, saya bersembunyi di rumah saya di Kebayoran Baru, sehingga selamat dan masih bisa melapor ke bapak hari ini.”
Saat Pak Moch Achadi tengah berbincang dengan Bung Karno, datanglah Komandan Marinir KKO Jenderal Hartono yang langsung duduk di samping Pak Moch Achadi. Kepada Jenderal Hartono, Bung Karno berucap;
“Sudahlah, begini saja, saya perintahkan kepada kamu untuk menghalangi mereka mengejar saya,”
Sendiko,” ujar Jenderal Hartono. Setelah itu Bung Karno mengajukan pertanyaan lagi pada Pak Moch Achadi.
“Di, apa kau berani ngomong di sidang Koti dimana Soeharto ada, soal penahanan menteri-menteri itu?”
“Kenapa tak berani, saya akan bicara apa adanya di hadapan Jenderal Soeharto,” jawab Moch Achadi.
“Baiklah, Koti akan saya panggil untuk sidang, dan kau menunggu dan istirahat di Guest House Istana,” ujar Bung Karno pada Pak Moch Achadi. 

Di luar dugaan, sidang Koti batal diadakan. Istana Merdeka dikepung pasukan RPKAD dan tanggal 16 Maret 1966 keluarlah pengumuman penahanan 15 menteri Dwikora yang dikeluarkan oleh Jenderal Soeharto dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno yang berdasarkan SP 11 Maret.

Langkah-langkah selanjutnya, Soeharto mengganti semua anggota DPR dan MPR dengan orang-orang yang menentang Bung Karno, dengan demikian pendukung Bung Karno digeser, organisasi pemuda dan mahasiswa seperti GMNI, GSNI, DEMA UBK, AKOP, SKOPMA juga PNI pimpinannya diburu.

Bukti supersemar direkayasa kembali oleh Soeharto adalah pada TAP MPRS no.IX/1966 tentang pengukuhan SUPERSEMAR tanpa dilampirkan SP 11 Maret yang aslinya. Kemudian TAP MPRS no.XV/1966 antara lain tertulis apabila Presiden Soekarno berhalangan maka Jenderal Soeharti pengemban SP 11 Maret menjadi PD Presiden.

November 1967, Jenderela Soeharto yang telah menduduki kursi kepresidenan mengutus delegasi Indonesia dipimpin Sri Sultan dan Adam Malik didampingi Mafia Berekely pimpinan Wijoyo Nitisatro berunding dengan gembong-gembong kapitalis dunia pimpinan Rockefeller di Geneva, Swiss untuk mengundang masuknya para pemodal seperti IGGI, Wild Bank, UNDP, ADB, IMF yang hingga hari ini merajai perekonomian bangsa Indonesia.

Pemodal asing masuk Indonesia sangat bertentangan dengan prinsip Bung Karno saat memimpin negeri ini, sebab prinsip Bung Karno negara ini garus berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian yang berbudaya.
Dan singkat sejarah, surat perintah sebelas maret itulah yang kemudian membuat Bung Karno dikudeta. 

***
Pada hari Kamis di awal Oktober, Saya kembali bertemu dengan Pak Moch Achadi, itu pertemuan saya yang kedua kali, tetap di tempat yang sama. Padanya saya meminta saran, karena perut saya telah membengkak bertahun-tahun dan saya tak mau periksa karena takut mengetahui penyakit saya sendiri. Saya takut tersugesti.

“Pak, bapak sudah umur 81 tahun, tapi masih sehat, masih kuat, rahasianya apa, Pak?” pertanyaan saya langsung disambut Pak Roso Daras.
“Pak Achadi sampai sekarang ini, masih beryoga loh Er,” kata Pak Roso. Saya manggut-manggut, yogalah yang membuat lelaki sepuh di depan saya tetap sehat, napasnya bahkan tak tersengal sedikitpun saat menaikit tangga yang punya banyak undakan di kantor kami.
“Pak, bisa ajarkan saya Yoga, biar perut saya mengempis,” pinta saya asal. Dan sore itu, di dalam ruangan Pak Roso Daras, Pak Achadi mengajarkan saya beberapa gerakan dalam yoga yang merangsang otot-otot perut. 

Permulaan Moch Achadi belajar yoga yaitu saat dia di penjara. Karena setelah Presiden Soeharto menjabat, dia kemudian menyusul 13 mentri lainnya yang telah lebih dulu ditahan. Di dalam penjara itulah, Moch Achadi belajar banyak dari beberapa mentri yang ditahan, termasuk belajar Yoga. Selama dalam penjara, Pak Moch Achadi mengekalkan ingatannya dengan menulis beberapa catatan yang kemudian dibukukan dengan judul “Moch Achadi Informasi Histroris dari Penjara” yang terbit pada tahun 2009. 

Ketika Pak Achadi pamit pulang. Pak Roso berujar pada saya; “Beliau itu orang yang sangat cerdas, kasihan sekarang dia tersisih,” saya mengerti. Di antara melimpahnya acara gosip di berbagai media televisi, saya masih menemukan orang-orang yang peduli mengabadikan sejarah, kedua orang yang kenal itu adalah Pak Moch Achadi sendiri, dia datang jauh-jauh ke kantor kami hanya untuk membawa dokumen-dokumen sejarah yang kemudian akan dijadikan buku oleh Pak Roso.

Di akhir petemuan saya dengan Pak Moch Achadi, saya bertanya, apa yang paling berkesan akan Bung Karno di mata bapak, sesaat lelaki sepuh itu terdiam lalu berkata.
“Soekarno tak pernah menaruh curiga pada Soeharto, sebagai bukti dia menandatangani  PP 11 yang dikenal dengan Supersemar, dia tak pernah menduga PP 11 itulah yang kemudian menumbangkannya,” ujar Pak Achadi. 

Bagi Pak Moch Achadi, Bung Karno banyak meninggalkan kesan mendalam, salah satunya yaitu Bung Karno selalu berharap bisa serupa Sultan Harun Al-Rasyid—pimpinan Banghdad yang setiap tengah malam keluar rumah hanya untuk mengecek kehidupan rakyat dan menangis ketika dia mendapati satu orang warganya yang memasak batu karena tak punya makanan. 

Dan bagi saya sendiri, yang membaca Sokerano dari sudut pandang perempuan biasa, Soekarno punya banyak perempuan; Inggit, Fatmawati, Hartini, Oetari, Haryati, Yurike Sanger—anak SMA dari Manado yang membuat Soekarno begitu romantis hingga Naoko—gadis 19 tahun yang ditemui Soekarno di Klub Malam Akasaka’s Copacobana saat beliau berusia 58 tahun, kesemuanya perempuan ini amat mencintainya dengan luka masing-masing.

Penulis lahir 7 Juni 1985 di Desa Lipulalongo, Banggai Laut. Bergiat di Dapur Seni Salanggar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar