Senin, 26 Maret 2018

Rm. Martin van Ooij: Lebih Nyaman di Desa



Rm. Martin van Ooij mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak terlalu tertarik untuk mengajar agama ketika hadir di suatu tempat baru. Ia lebih suka mendengarkan dan mengenali orang-orang yang dilayaninya. Dari kedekatan relasi ini sedikit atau banyak ia bisa memberi sumbangsih dalam pergulatan hidup mereka. 

Tragedi G30S mengubah ritme kerjanya. Sesudah tahun-tahun krusial itu Romo Martin disibukkan oleh kegiatan mengajar agama. Di berbagai tempat banyak orang berniat menjadi anggota Gereja, akibat sikap keras pemerintah  yang mewajibkan setiap orang untuk menjalankan agama yang dipilihnya. Siang malam ia mengajar kelompok jemaat di Punggur, Kotagajah, Seputih Raman, Seputih Banyak (SB) XIV, Raman Utara, Raman Aji, dan Purbolinggo.



Di beberapa tempat misalnya Seputih Banyak  dan Purbolinggo sebenarnya jemaat Katolik telah ada sebelum tahun 1965. Rm. Vroenhoven adalah pastor yang banyak melayani mereka. Semenjak ada 3 pastor di Metro, daerah-daerah yang pada tahun 1968 menjadi paroki Kotagajah banyak dilayani oleh Rm. van Ooij.  Sejak 1965 jumlah magangan meningkat pesat.  Untuk aktivitasnya ini Rm. van Ooij diberi sebuah landrover.

Sesudah G30S ia membuka stasi-stasi baru antara lain Rumbia III dan IV, Seputih Banyak (SB)  VI, SK I dan II, Bojonegoro dan Purwodadi. Beberapa daerah ini hanya dapat ditempuh dengan sepeda karena belum ada jembatan. Ia pakai jubah putihnya.  Orang-orang Katolik akan tahu bahwa ia seorang pastor dan mengejar laju sepedanya. “Transmigran dari Jawa semua dianggap Islam, sehingga kami harus mencari mereka,” katanya.

Bekerja sama dengan pamong dan penduduk setempat Rm. Van Ooij membangun jembatan sederhana. “Saya bawa palu dan paku, mereka mencari kayu di hutan,” tambahnya. Bersama komunitas jemaat perdana di daerah-daerah baru tersebut ia juga membangun sejumlah kapel.
Karena tumbuhnya jumlah komunitas jemaat yang baru maka 3 pastor di Paroki Metro membagi tugas pelayanan masing-masing. Rm. Van Ooij kecuali stasi-stasi yang telah disebut di atas juga masih tetap melayani Simbarwaringin, Metro 22A dan Bantul. Rm. Vroenhoeven yang sebelum 1965 melayani Seputih Banyak dan sekiarnya, akan lebih fokus melayani stasi pusat Metro. Sementara Rm. Grein melayani Selorejo, Wonogiri dan Jojog.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, ada banyak magangan tetapi tidak ada yang mengajar. Rm. Van ooij kemudian mengusulkan kepada uskup untuk mengadakan kursus calon pendamping umat. Novisiat SCJ di Gisting masih kosong, jadi bisa digunakan. Tiap tahun hanya ada satu angkatan dengan lama kursus 1 bulan. Para pengajarnya antara lain Sukoyo, Sukarsono, Pastor Tromp. “Mungkin juga Sr. Yohani FSGM. Suster Goreti HK baru lulus 1970, jadi pasti baru bergabung tahun-tahun sesudahnya,” Rm. van Ooij berusaha keras mengingat-ingat.

Di Metro diadakan pelajaran untuk katekis pembantu setiap hari Minggu. Salah satu pesertanya  adalah Widi Sutrisno, asal Seputih Banyak (SB) XIV, katekis yang banyak mendampingi jemaat perdana stasi-stasi  yang kini disebut sebagai Unit Pastoral Rumbia. Para katekis pembantu  ini mendapat  sekadar insentif dari keuskupan. Dana didapat dari Propaganda Fide melalui Uskup Tanjungkarang, Mgr. Hermelink.

Paroki Kotagajah resmi berdiri pada 1 Agustus 1968. Tetapi para pastor yang melayaninya, termasuk Rm. van Ooij tetap tinggal di pastoran Metro sampai Januari 1970. Sebenarnya hanya sampai Juni 1969, karena ia mengambil cuti dan kursus ke Eropa.  Saat kembali ke Indonesia ia minta kepada uskup untuk pindah ke paroki di desa. “Kalau harus ke Metro lagi, saya ‘mengancam’  untuk pergi ke Kanada,” kata Rm. van Ooij. Dengan berat hati Mgr. Albertus Hermelink mengabulkan permintaannya.

Ia merasa bisa melayani lebih banyak di pedesaan dan bukan sama sekali karena ketidakcocokan dengan konfraternya.   Uskup dapat menerima alasannya tersebut. Dari Januari 1970 sampai Januari 1980 Rm. van Ooij menjadi pastor paroki Kotagajah dan tinggal menetap di sana.
Ada hal yang amat mengesankannya ketika ia penuh waktu malayani Kotagajah. Model berpastoral yang selama ini dijalankannya, yaitu tidak membangun sekolah atau rumah sakit, melainkan terlibat dalam hidup keseharian masyarakat, mendapat tanggapan positif.  Tahun 1967 muncul ide agar para religius membuka komunitas di desa. “Tidak mendirikan apa-apa. Membangun sekolah misalnya,  itu urusan pemerintah,” katanya.

Ia mendampingi Kongregasi Suster-suster Hati Kudus membuka komunitas di Seputih Banyak (SB)  XIV. Waktu mereka mulai membangun rumah biara, tahun 1970, umat sekitar ikut terlibat. Orang tua membantu mencari kayu, anak-anak mencari pasir. “Saya minta suster menyiapkan satu kamar untuk membantu kalau ada orang melahirkan. Tapi tidak perlu mereka membangun klinik.”   Kecuali di Seputih Banyak (SB) XIV Kongregasi HK juga mengembangkan komunitas semcam ini di Ngestirahayu.