Kamis, 19 Oktober 2017

~~ Mengenang Saigon dalam Secangkir Kopi ~~

“Belikan aku kopi ini, kalau kamu ke Saigon,” kata temanku. Dilampirkannya gambar kopi sachet dengan logo menyolok, palu arit, atau atau apalah itu maksudnya. Padahal aku sedang berada di sentra perkebunan kopi di Lang Biang, puncak tinggi Provinsi Lam Dong dan menikmati single shot espresso mocha. Padahal aku tak berminat menjelajah Saigon lagi. Sekedar transit, iya.
Setiba di Saigon, terpaksa menyusur jalanan yang semrawut, miskin rambu-rambu, motor bersliweran tanpa mau mengalah pada para penyeberang jalan. Terpaksa berjalan dari Bui Vien Street menuju Ben Than market, menembus hujan yang nyaris terus mengguyur hari-hari Agustus.
Apa enaknya kopi sachet ini ? Harganya 80.000 VND berisi 4 kotak @14 sachet kecil. Rasanya ya.. strong, pahit, sedikit asam. Yang sudah dicampur kreamer terasa lebih pas di lidahku. Tak manis, tak juga pahit. Harum secangkir kopi siang ini, membawaku melayang kembali menyusuri distrik 1.
Di mataku Distrik 1 berbeda dengan tiga tahun lalu, kali pertama aku ke sana. Ada pembenahan galian kabel di De Tham sehingga jalanan itu terlihat kumuh di siang hari. Pelayan toko, pegawai restoran, sopir taksi lebih bisa berbicara bahasa Inggris secara terbatas. Cukuplah untuk berkomunikasi. Juga sekarang ada ojek motor Grab, sehingga kita bisa terhindar dari scam ojek motor dan cyclos. Oh..yang terakhir ini tak kulihat lagi.
Di muka Katedral

Kantor pos pusat HCMC


Aku lebih suka jalan kaki menyusuri distrik 1. Toh tak banyak yang ingin kukunjungi lagi di sini. Yang paling aku suka si Saigon ini adalah taman-taman yang rapi terpelihara, patung-patung, mural-mural baik yang propagandis maupun yang bukan. Juga banyak ruang-ruang terbuka di mana orang bisa duduk bersantai. Wajah kota terlihat lebih manusiawi, setidaknya bagi orang yang sekedar mampir seperti aku ini.
Taman Cong Vien 23 September masih tetap hijau asri. Sedikit sumpek karena ruang di sebelahnya ditutup seng tinggi, mungkin sedang ada pembangunan entah gedung apa. Di seberangnya, tepat di pertigaan De Tham dan Pham Ngulao berdiri Sense market sekarang. Malam hari tempat ini semarak dengan gerai makanan khas Vietnam. Jadi kita tak perlu berjalan ke Ben Than kalau hanya sekedar menikmati street food yang enak. Harganya jauh lebih murah daripada restoran di sekitar hostel di Bui Vien dan de Tham, yang jelas banyak pilihan.
Ada cukup banyak turis Arab kulihat di Distrik satu. Malam hari kulihat beberapa dari mereka duduk santai di Sense market, di gerai makanan dan ice cream halal. Beberapa gadis muda Vietnam ikut duduk menemani. You know what-lah... Maaf kalau aku berpikiran buruk. Tiga tahun lalu aku tak menemukan turis-turis Arab. Bahkan aku merasa the only Indonesian. “Oh... for long time i didnt meet Indonesian...,” kata perempuan penjual tiket bus menuju Cambodia saat itu. Arus turis terutama dari Korea dan China terus menanjak. Aku banyak ketemu mereka di hostel. Aku ketemu serombongan anak-anak muda Indonesia juga ketika mengantri imigrasi. Eh.... ketemu juga serombongan besar orang Indonesia naik bus wisata di muka katedral Saigon.
Cathedrale Notre-Dame de Saigon dan Sekitarnya
Bangunan yang mulai dibangun tahun 1863 itu bernama resmi Vruong cung than duong Chin toa Duc Me Vo nhiem Nguyen toi atau Basilika Bunda Konsepsion Imakulata. Selalu ada magnet yang menarikmu berjalan ke sana. Sayang kali ini bangunannya sedang direhab jadi tidak ada misa sama sekali. Tetapi beberapa pasangan pengantin masih melakukan foto-foto pra-wedding di situ.
Kantor pos di seberangnya masih juga ramai dikunjungi orang. Mereka membeli kartu pos dengan macam-macam gambar tentang Vietnam. Banyak juga yang hanya duduk-duduk ngadem, memandangi keramaian orang. Hampir terlupa... kok catnya diubah ya... Tiga tahun lalu warnanya merah bata, sekarang kuning muda. Asyik yang dululah... Asal katedralnya jangan ikut-ikutan dicat kuning. Warna asli bata merahnya itu lebih cantik, seperti bangunan-bangunan kuno di Perancis.
Di samping kiri kantor pos ada ruang terbuka yang kini dimanfaatkan menjadi kios-kios buku. Menariknya banyak kios-kios itu didesain sebagai kafe. Dengan membeli segelas kopi plus makanan ringan kita bisa baca-baca buku, mendengar music sambil berselancar di internet. Selalu tersedia WIFI gratis di cafe-cafe dan restoran di Saigon. Sayang sih, bukunya sebagian besar juga berbahasa Vietnam. Saya ingin membeli satu atau dua yang berbahasa Inggris sebagai suvenir untuk diri sendiri. Tapi segera ingat diri ini cuma backpacker mlarat, yang jatahnya cuma boleh bawa tentengan 7 kg... Ngenes...
Apa boleh buat. Terpaksa duduk saja, mengistirahatkan kaki, sambil ngopi. Yang jelas berubah adalah mesin-mesih di tubuhku. Setahun penuh menekuni berbagai terapi bertarung dengan GERD, uhh...nafas terasa pendek-pendek. Lelah sih. Pelan-pelan aku beringsut, berjalan pulang ke hostel. Kalau kecapekan ya duduk sejenak di taman atau di pipir toko (ihhh..memelas).
Malam telah menjelang. Distrik satu bertabur lampu-lampu. Berbelok ke kiri dari De Tham menuju Bui Vien street. Musik terus berdentam. Suasananya sama persis dengan sepotong jalan bernama Khaosan di pusat Bangkok. Hanya bedanya, di sana turis lebih beragam. Di sini kebanyakan dari China dan Korea.
Keramaian dan kerumuman orang terus berlanjut sampai pagi.
Aku tak bisa tidur. Besok pagi buta harus beranjak pergi....
katedral Ho Chi Minh City

Sebuah patung
Menyusuri cafe buku
Keriuhan malam Bui Vien


Tidak ada komentar:

Posting Komentar