Jumat, 20 Oktober 2017

MARIA VAN DALAT : Menyusuri Perbukitan Langbiang


Usianya sekitar 40-an kukira. Ramping, mungil, cantik, tipikal perempuan Vietnam. Lebih dari itu, ia merak ati, kalau kata orang Jawa. Ada energi yang kuat, semangat yang membuncah, tiap kali ia bercerita. Meski mungkin ia bicara hal yang sama setiap hari kepada para turis yang dipandunya.
Aku orang pertama yang ia jemput di rumah Thuy, induk semangku di Dalat. Selanjutnya mobil van disesaki oleh 11 turis, ditambah supir dan Maria yang duduk di sampingnya, sambil terus menghadap ke belakang. Ia memulai kerjanya pagi itu dengan mencatat satu per satu nama-nama kami dan menghapalkannya. “Oh, aku akan mudah mengingat namamu. Aku Maria,” katanya, sesaat setelah kusebut namaku Vero. Aku tak menanyakan nama lengkapnya, karena yakin aku akan lupa segera sesudahnya. 

Maria

Menanti kopi


Maria bekerja sebagai pemandu wisata di sebuah biro wisata lokal kecil di Dalat. Maksudku bukan biro wisata besar semacam Sihn Tourist yang kantor pusatnya terletak di De Tham street, Distrik 1, Saigon. Sihn Tourist mempunyai armada yang merajai kota-kota tujuan wisata di Vietnam bahkan Cambodia. Mereka juga melayani paket-paket wisata dari yang berdurasi setengah hari sampai sekitar 3 atau mungkin 5 hari. Ini efektif menjaring klien. Banyak turis dari berbagai negara yang membeli tiket dan paket wisata mereka secara online. Alasannya mungkin orang bisa terhindar dari scam dan juga pembatalan mendadak. Tapi bukan berarti pelayanan mereka yang paling prima. Beberapa kurasakan bagus. Tapi beberapa ya... lumayan saja. Maka karena aku punya waktu agak longgar di Dalat, kuputuskan ikut biro wisata lokal. Kesempatan inilah yang mempertemukanku dengan Maria dalam paket wisata countryside Dalat.
Ia selalu menyebut nama dirinya sebagai kata ganti orang pertama. “Maria will show you the beautiful places on Langbiang mountain.... Maria will bring you to the place where you can taste the nicest coffee in Vietnam....” begitu ia mengucapkan kalimat-kalimatnya. Bahasa Inggrisnya sangat baik. Tidak terdengar logat orang Vietnam pada umumnya yang sulit mengucap konsonan l (el) di akhir kata. Penuh semangat ia bercerita tentang berbagai hal, tentang Dalat, budaya, bangunan, bahkan kadang tentang dirinya sendiri.
“Apakah kamu seorang mahasiswa?” tanyanya pada pasangan muda Malaysia yang duduk di belakang. Ternyata keduanya belum lama lulus kuliah, bekerja dan segera menikah. “Oh, beruntungnya kalian. Saya, selepas kuliah dulu, harus bekerja keras mengembalikan uang pinjaman dari negara yang saya gunakan untuk menyelesaikan kuliah. Selanjutnya saya juga harus membantu orang tua saya,” katanya. Wajahnya tetap ceria, tak ada rasa iri di matanya. Mungkin itu di Indonesia semacam Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang dulu pernah diberikan oleh pemerintah Suharto zaman aku kuliah dulu.
Satu kali, ketika kami melewati perladangan kopi di pegunungan Langbiang ia berucap. “Vietnam ini terkenal sebagai negera pengekspor varian kopi yang enak dan... wanita cantik,” katanya. Lantas ia bercerita tentang suku Lat, yang menghuni pegunungan Lang Biang. “Perkawinan di sini ini bersifat matrilineal. Anak-anak mewarisi nama fam ibunya. Kedudukan dan derajat perempuan di sini tinggi.” 
Kebun kopi

Menyortir stroberi

Petani bunga

Lantas disambung, “Sorry, the men are lower.” Jadi, kata Maria, kalau seorang gadis naksir seorang pemuda di desanya, ia akan berkata kepada orang tuanya, “Bill itu tampan, sexy, pintar. Saya naksir.Tolong tanyakan kepada orang tuanya, berapa kerbau yang mereka mau sebagai mahar.” Bill adalah salah satu anggota rombongan kami. Kami tertawa bersama. Perempuan di sini, bahkan di Vietnam pada umumnya biasa bekerja keras, kata Maria. Maka tak heran, kalau tak ada pekerjaan yang memadai mereka berani merantau ke luar negeri. (Hmm...seperti Pinay juga).
Tentang Dalat ia bertanya, “Coba katakan, 3 hal yang tidak ada di Dalat.” Kami pun berpikir, terlibat dalam diskusi kecil. “Traffic light,” kataku. Aku gampang menebak. Ini problemku di Vietnam. Takut sekali untuk menyeberang jalan. “Betul,” katanya. “Lainnya? Apa yang tak ada saat kau masuk ke hotel?” ~”Air con,” kata seseorang. Ya, Dalat tak membutuhkan pendingin udara. Hawanya sejuk sepanjang tahun. Satu lagi adalah, tak ada bangunan tinggi di Dalat. Ketinggian bangunan hanya dibatasi 4 lantai saja (agak lupa..., pokoknya ada pembatasanlah). Paling tinggi hanya kantor pemerintah provinsi.
Ia menambahkan. “Yang juga tak ada di Dalat adalah bum-bum massage. You know that ?” Ia bercerita tentang beberapa kliennya yang meminta pelayanan itu sesudah mengikuti acara tur-nya. “Oh, sorry, you cant find that kind service in Dalat,” ia menuturkan dalam nada bermartabat tapi tetap ramah. Bum-bum massage adalah nama lain untuk pijat plus plus.
Seharian itu Maria memandu kami menyusuri jalan berkelok-kelok di pegunungan Langbiang. Kami mengunjungi kebun bunga, kebun stroberri, lantas berhenti agak lama di perkebunan kopi. Ia bercerita tentang jenis-jenis kopi yang di kebun, proses pengeringan dan peracikan. Dan akhirnya mempersilahkan kami duduk di ruang terbuka lantai II untuk menikmati kopi sambil memandangi kontur punggung perbukitan Langbiang.
Siang hari kami mampir di Elephant waterfall, Happy Buddha pagoda, sebelum balik lagi ke kota untuk makan siang dan menyelesaikan sisa satu destinasi akhir, Crazy house. “Tur kita sudah berakhir. Kalian minta di antar ke mana ? Ke hotel, central market atau tempat lain di sekitar sini?” Sebuah tawaran yang simpatik, menutup interaksi seharian bersamanya. Maria dengan pekerjaan rutinnya yang sederhana telah membagi kegembiraan.

Elephant Waterfall

Happy Buddha 
Happy Buddha as beckground

Pegunungan Lang Biang
Vihara Linh An Tu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar