Senin, 08 Juli 2019

Sang Pewarta Passura’ Suci

Sang Pewarta Passura’ Suci


Pastor Yans Sulo Paganna’ segera menarik perhatian saya saat penerimaan rombongan PKSN dari Makasar di pastoran Makale. Ia salah seorang yang menyampaikan pidato. Sementara yang lain menggunakan bahasa Indonesia, ia menggunakan bahasa Toraja. Lengkap dengan pantun-pantun yang tentu tak dapat saya tangkap maknanya, tetapi saya pahami keindahannya.
Ia mengenakan pakaian khas Toraja warna kuning terang. Pasapu atau tutup kepalanya berbeda dengan yang lain. Miliknya berhiaskan lidi dan bulu-bulu ayam. Konon, ini hanya digunakan oleh orang-orang tertentu. Ia memang seorang pelaksana tata upacara adat Toraja.
“Ayam adalah lambang kejujuran,” demikian katanya, sedikit mengupas filosofi Toraja. Ia seperti ensiklopedi yang terbuka untuk kita belajar tentang Toraja. Pengetahuannya dituangkan ke dalam buku berjudul “Bisikan Suci Passura’ Toraya”, 2018. Ini buku tentang makna di balik ukiran Toraja yang terkenal itu.
Dalam ukiran atau passura’ terkandung nilai-nilai local wisdom Tana Toraja yang diukir dalam simbol-simbol sehingga diharapkan mereka mampu hidup dalam keselarasan. Hal itu misalnya hidup dalam bingkai kesucian dalam motif pa’bua kapa’; kejujuran dalam motif pa’ barra’-barra’; kebersamaan seirama dengan orang lain dalam motif pa’re’po sangbua; altruisme atau berbagi dengan sesama dalam motif limbongan; kerendahan hati dalam motif pa’tuku pare; kokoh dalam prinsip dalam motif pa’kalungkung, dll.
Motif-motif itu terukir indah dalam rumah tongkonan atau rumah adat Toraja. Empat warna dasar yang digunakan adalah merah, hitam, hijau dan kuning, sehingga terlihat cerah. Ukiran harus dibuat dengan teliti dan sepenuh hati sebab seorang tukang ukir tongkonan bukan sekedar bekerja tetapi ia merangkai doa abadi bagi rumpun keluarga pemilik tongkonan. Doa atau pekerjaannya tak boleh salah sebab akan mendatangkan kemalangan. Sebaliknya doa yang tepat akan membuahkan rahmat berlimpah.
Itu sedikit bahasan mengenai buku Rm. Yans Sulo. Ini buku yang amat berharga agar generasi selanjutnya memahami filosofi itu, yang kebanyakan masih disampaikan secara lisan. Verba volant scripta manent.
Saya berharap Rm. Yans Sulo setia menulis lagi tentang nilai-nilai kebijaksanaan lokal Toraja. Meski bagi sayapun, menulis buku (yang bukan saleable) seperti menapaki jalan sunyi, sebuah laku sepi ing pamrih. Sendiri gelisah mengolah dan menyaring ide-ide yang bersliweran liar di kepala. Sendiri menjumpai para narasumber. Sendiri mencari donatur yang mau menerbitkan. Masih lumayanlah kalau hasilnya diapresiasi. Sangat sering, kerabat maunya dapat gratisan padahal dibaca pun tidak.
Tapi, ashudahlah. Tiap orang memilih jalannya dan tahu resikonya. Mari berjalan, mari bersetia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar