Selasa, 03 April 2018

JEJAK LANGKAH, Pramudya Ananta Toer

#Kisahkudenganbuku

Beberapa saat lalu bersliweran di linimasa facebook ajakan untuk memajang sampul buku. Just cover, no explanation, katanya.

Saya justru tertantang untuk menceritakan buku2 saya yang sampulnya saya pajang di sini. Termin pertama 3 buku dulu. Sesudah itu baru berani ajak orang lain.

Ini saja  sulit buat saya. Betapa lebih mudah membaca lewat gawai. Betapa lebih mudah menulis komentar nyinyir di status orang lain :) .

#Harike3 : JEJAK LANGKAH, Pramudya Ananta Toer.

Jejak Langkah adalah buku ketiga dari tetralogi PAT yang ditulisnya di Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).

Setelah kematian isterinya, Annelies Mellema, Minke meninggalkan Surabaya menuju Batavia. Ia masuk STOVIA dan kawin dengan Ang San Mei, gadis tangguh asal China. Setelah Mei meninggal dunia, ia dikeluarkan dari STOVIA dan berjuang mendirikan
 korannya, Medan Priyayi, dan juga organisasi Sarekat Dagang Islam. Karena sebuah tulisan yang menyinggung gubernur jenderal, korannya dilarang terbit. Novel ini diakhiri dengan pnangkapan Minke dan pengasingannya ke luar Jawa.

Buku saya ini merupakan edisi pertama tetralogi Buru yang terbit di Indonesia (1985). Sebelumnya saya sudah baca Bumi Manusia yang diterbitkan di Malaysia. Saya beli buku ini di Shopping Center, Yogyakarta. Seminggu sekali saya menyempatkan diri membaca buku di Perpustakaan Wilayah di Malioboro. Dari situ kadang saya jalan kaki nonton buku di shopping center.  Saya sedang beruntung saja, pas ke sana lihat buku ini.

Dekade 1980-an rezim militer Suharto sedang menderap dengan gagah garangnya. Buku ini barang ilegal. Mengedarkannya bisa berujung penjara. Gak main-main, perbuatan subversif itu. Jadi memiliki buku ini rasanya sesuatu banget.

Waktu itu saya orang baik dan murah hati. Sesudah saya baca, saya izinkan teman2 meminjamnya. Tapi ada satu teman yang huassyuuu tenan. Buku ini dipinjam lama banget, sehingga terpaksa saya tarik paksa. "Rampung ra rampung pokoke balekke bukuku dab."

Buku itu kembali dalam rupa yng kumuh spt ini. Jilidannya pecah, ada bekas sundutan rokok, ada batangan korek api sebagai penanda halaman. Ketika hal ini saya tanyakan, dia jawab begini, "Ya kuwi yen buku apik ki sing nyilih wong akeh." Sambil cengengesan.

Saya marah sih. Tapi sekali lagi, saya dulu orang baik. Kalau marah ya cuma nggondok, nyesek di ulu hati, kehilangan kata-kata. Orang Jogja bo!  Jangan tanya sekarang. Humus hutan Sumatera membuat saya lebih ekspresif, hahaha....

Nah, saya sudah selesai dengan termin pertama, 3 hari 3 buku.

#ayokembalipadabuku

TABIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar