Rm. Martin van Ooij mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak terlalu tertarik
untuk mengajar agama ketika hadir di suatu tempat baru. Ia lebih suka
mendengarkan dan mengenali orang-orang yang dilayaninya. Dari kedekatan relasi
ini sedikit atau banyak ia bisa memberi sumbangsih dalam pergulatan hidup
mereka.
Tragedi G30S mengubah ritme kerjanya. Sesudah tahun-tahun krusial itu Romo
Martin disibukkan oleh kegiatan mengajar agama. Di berbagai tempat banyak orang
berniat menjadi anggota Gereja, akibat sikap keras pemerintah yang mewajibkan setiap orang untuk
menjalankan agama yang dipilihnya. Siang malam ia mengajar kelompok jemaat di
Punggur, Kotagajah, Seputih Raman, Seputih Banyak (SB) XIV, Raman Utara, Raman
Aji, dan Purbolinggo.
Di beberapa tempat misalnya Seputih Banyak
dan Purbolinggo sebenarnya jemaat Katolik telah ada sebelum tahun 1965.
Rm. Vroenhoven adalah pastor yang banyak melayani mereka. Semenjak ada 3 pastor
di Metro, daerah-daerah yang pada tahun 1968 menjadi paroki Kotagajah banyak
dilayani oleh Rm. van Ooij. Sejak 1965
jumlah magangan meningkat pesat. Untuk
aktivitasnya ini Rm. van Ooij diberi sebuah landrover.
Sesudah G30S ia membuka stasi-stasi baru antara lain Rumbia III dan IV, Seputih
Banyak (SB) VI, SK I dan II, Bojonegoro
dan Purwodadi. Beberapa daerah ini hanya dapat ditempuh dengan sepeda karena
belum ada jembatan. Ia pakai jubah putihnya.
Orang-orang Katolik akan tahu bahwa ia seorang pastor dan mengejar laju
sepedanya. “Transmigran dari Jawa semua dianggap Islam, sehingga kami harus
mencari mereka,” katanya.
Bekerja sama dengan pamong dan penduduk setempat Rm. Van Ooij membangun
jembatan sederhana. “Saya bawa palu dan paku, mereka mencari kayu di hutan,”
tambahnya. Bersama komunitas jemaat perdana di daerah-daerah baru tersebut ia
juga membangun sejumlah kapel.
Karena tumbuhnya jumlah komunitas jemaat yang baru maka 3 pastor di Paroki
Metro membagi tugas pelayanan masing-masing. Rm. Van Ooij kecuali stasi-stasi
yang telah disebut di atas juga masih tetap melayani Simbarwaringin, Metro 22A
dan Bantul. Rm. Vroenhoeven yang sebelum 1965 melayani Seputih Banyak dan
sekiarnya, akan lebih fokus melayani stasi pusat Metro. Sementara Rm. Grein
melayani Selorejo, Wonogiri dan Jojog.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, ada banyak magangan tetapi tidak ada
yang mengajar. Rm. Van ooij kemudian mengusulkan kepada uskup untuk mengadakan
kursus calon pendamping umat. Novisiat SCJ di Gisting masih kosong, jadi bisa
digunakan. Tiap tahun hanya ada satu angkatan dengan lama kursus 1 bulan. Para
pengajarnya antara lain Sukoyo, Sukarsono, Pastor Tromp. “Mungkin juga Sr.
Yohani FSGM. Suster Goreti HK baru lulus 1970, jadi pasti baru bergabung
tahun-tahun sesudahnya,” Rm. van Ooij berusaha keras mengingat-ingat.
Di Metro diadakan pelajaran untuk katekis pembantu setiap hari Minggu.
Salah satu pesertanya adalah Widi
Sutrisno, asal Seputih Banyak (SB) XIV, katekis yang banyak mendampingi jemaat
perdana stasi-stasi yang kini disebut
sebagai Unit Pastoral Rumbia. Para katekis pembantu ini mendapat
sekadar insentif dari keuskupan. Dana didapat dari Propaganda Fide
melalui Uskup Tanjungkarang, Mgr. Hermelink.
Paroki Kotagajah resmi berdiri pada 1 Agustus 1968. Tetapi para pastor yang
melayaninya, termasuk Rm. van Ooij tetap tinggal di pastoran Metro sampai
Januari 1970. Sebenarnya hanya sampai Juni 1969, karena ia mengambil cuti dan
kursus ke Eropa. Saat kembali ke
Indonesia ia minta kepada uskup untuk pindah ke paroki di desa. “Kalau harus ke
Metro lagi, saya ‘mengancam’ untuk pergi
ke Kanada,” kata Rm. van Ooij. Dengan berat hati Mgr. Albertus Hermelink
mengabulkan permintaannya.
Ia merasa bisa melayani lebih banyak di pedesaan dan bukan sama sekali karena
ketidakcocokan dengan konfraternya.
Uskup dapat menerima alasannya tersebut. Dari Januari 1970 sampai
Januari 1980 Rm. van Ooij menjadi pastor paroki Kotagajah dan tinggal menetap
di sana.
Ada hal yang amat mengesankannya ketika ia penuh waktu malayani Kotagajah.
Model berpastoral yang selama ini dijalankannya, yaitu tidak membangun sekolah
atau rumah sakit, melainkan terlibat dalam hidup keseharian masyarakat,
mendapat tanggapan positif. Tahun 1967
muncul ide agar para religius membuka komunitas di desa. “Tidak mendirikan apa-apa.
Membangun sekolah misalnya, itu urusan
pemerintah,” katanya.
Ia mendampingi Kongregasi Suster-suster Hati Kudus membuka komunitas di Seputih
Banyak (SB) XIV. Waktu mereka mulai
membangun rumah biara, tahun 1970, umat sekitar ikut terlibat. Orang tua
membantu mencari kayu, anak-anak mencari pasir. “Saya minta suster menyiapkan
satu kamar untuk membantu kalau ada orang melahirkan. Tapi tidak perlu mereka
membangun klinik.” Kecuali di Seputih
Banyak (SB) XIV Kongregasi HK juga mengembangkan komunitas semcam ini di
Ngestirahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar