Salah satu capaian
penting belajar di luar negeri bagiku adalah
merasakan bagaimana menjadi murid tergoblog. Sejak sekolah, taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi aku tidak termasuk golongan menengah bawah. Sesekali
juara walau tidak pernah menjadi juara I juga. Kenapa kusebut pencapaian? Karena
hal ini mengubah cara pandangku selanjutnya saat aku menjadi guru.
Masih cerita tentang
Ecully. Belum sembuh dari rasa jetlag, tibalah aku pada kelas radio.
Pengajarnya super duper hebat, Sean Patrick Lovett, direktur siaran bahasa
Inggris Radio Vatikan. Mata pelajaran ini nyaris seutuhnya praktikal. Ada teorinya, tapi sedikit sekali. Selebihnya
berkutat dengan membuat naskah, masuk studio rekaman atau ke lapangan
mewawancara narasumber. Bayangkan ! Aduhai super duper mumetnya aku.
Di kelas ini ada
siswa-siswi hebat, dengan begitu mereka langsung nyambung. Ya, kelas ini cuma
penyegaran saja kok buat mereka. Semacam tahun sabatikal yang boleh diambil di
luar negeri dengan mengikuti kursus atau apalah yang berguna tapi tetap
menggembirakan. Ada Fabrizio Colombo, misionaris muda ganteng asal Milan yang
bekerja di Chad. Ada Agnes Namutebi, penyiar hebat dari Radio Uganda. Ada lagi
sahabat terbaikku Michelle Yoon, seniwati penulis naskah radio, drama dan film
dari Korea Selatan. Saiyah mah apah... !
Hari pertama pelajaran
diisi dengan permainan. Tujuannya cuma untuk menunjukkan bahwa bekerja di radio itu tak selalu
gampang. Kita harus memberi informasi kepada pendengar hanya dengan suara.
Visualisasi informasi hanya terjadi di ruang kepala pendengar. Caranya kami
berpasang-pasang duduk saling membelakangi. Aku berpasangan dengan Agnes, tak
bisa memilih partner sendiri. Jan cilaka
tenan !
Berani ke luar negeri
begini, tentu bahasa Inggrisku bukan tingkat elementary –lah. Tapi seperti kebanyakan orang Indonesia, kita
tidak benar-benar mempraktikkan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Kita
mungkin mengikuti kursus, tetapi tetap saja bahasa Inggris kita berkembang
secara pasif, banyak membaca. Kita paham orang bicara apa, tapi sulit bagi kita
untuk bisa mengekspresikan buah pikiran kita dengan jernih dan mendalam. Lama
kita berpikir untuk menyeleksi diksi yang tepat. Karena lama tidak ketemu juga,
akhirnya yang terucap jadi dangkal, tak bisa menggambarkan tingkat pemahaman
kita yang sesungguhnya. Otak dan mulut tak sinkron.
Satu lagi yang tak pernah
kita duga sebelumnya adalah juga tentang logat. Bahasa Inggris itu dipakai di
banyak belahan dunia. Masing-masing tempat mewarnai logat penuturnya. Ada orang
India, yang jangankan menyanyi, ngomong saja logatnya keriting mereka itu,
sambil menggeleng-gelengkan kepala pula. (Ooop... kalau bilang yes mereka malah
menggeleng). Dan bagianku adalah, Agnes, yang logat Ugandanya sangat kental,
keras, dengan tekanan berat pada suku kata atau fonem akhir. “Wakkk,
takkkk!!!” - Walk, talk - . Jantungku berdegub kencang, sementara pikiranku
berjalan lambat !
Dari balik punggung kami
saling memberi tebakan tentang suatu benda hanya dengan mendeskripsikannya. Lha, aku menangkap logatnya si Agnes
saja kagak. Agnes sih maklum, karena kami bertiga, dengan Michelle, memang
tinggal serumah. Dia tahu aku baru saja datang dari negara yang tidak memakai
bahasa Inggris, dan dia banyak membantu aku memahami teks-teks sulit. Tapi
Lovett, nggak ngerti itu. “Vero, terrible,” katanya.
Pelajaran selajutnya membuat
naskah iklan singkat lengkap dengan musiknya. Ini sih gampang. Tapi saat harus merekam suara sendiri, aku putus asa. Aku berlogat Inggris Jawa. Apa orang bisa paham ? Belum lagi Vikorn
Tetsalee, volunteer teknisi di Crec Avex, memaksa aku bicara cepat. Nyerah dah!
Kudatangi Lovett, “Bahasa Inggrisku
jelek, suaraku tidak mikrofonis. Aku mau pakai suara Agnes saja.” Agnes
suaranya gandem marem tenan di
mikrofon.
Kali ini Lovett bersikap
lembut padaku. “Vero, dengarkan aku. Pergi ke perpustakaan dan tonton film Musa
pada sekuel semak-semak terbakar. Kamu akan lihat, suara Tuhan saat berbicara
dengan Musa adalah suara si pemeran Musa itu sendiri. Paham kamu, apa maksudku?”
–“Paham boss. Tuhan berbicara kepada
kita, hanya dengan menggunakan suara kita sendiri.” – “Perfect, Vero. Do it, “
balasnya.
Tibalah saatnya kami
berkeja untuk proyek kelompok. Tema yang disediakan untuk kami telah ditentukan,
“Sex Before Married” dengan subtema “If Sex is a Gift, Why Can’t I Unwrap it ?”
. Menarik. Meski di Eropa, kalau tema
ini dibicarakan di internal lembaga Gereja, ya bisa kontroversial juga. Bentuk
siarannya gabungan siaran langsung dan rekaman. Kami mencari pendapat the expert, the experience, and the
public. Aku dijatah kerja yang paling gampang, cari pendapat yang terakhir
itu. Dengan dibekali sedikit teori wawancara – brief, anonymous, various -, pergi aku ke luar cari pendapat orang.
Potongan-potongan
pendapat orang banyak itu disatukan dan
diputar dalam siaran langsung. Seorang teolog kami datangkan untuk berbicara
dalam kompetensi ilmunya. Seorang perempuan muda, menikah, ibu seorang anak,
bersedia datang dan diwawancara mewakili ‘the expert’. Fabrizio Colombo masuk ke boks siar dan
menjadi pewawancara. Agnes dan Michelle sudah pula bekerja dengan detil-detil
naskah.
Aku lagi-lagi diberi
tugas paling gampang, menjadi asistennya Vikorn, pengendali siar. Tugasku hanya
mengulurkan beberapa CD musik instrumental yang akan diputar untuk selingan.
Konteksnya waktu itu lho ya, alat-alat siar, computer, dll belum secanggih saat
ini. Studio Avex juga sederhana saja kok. Lagi-lagi aku membuat kekacauan. Ada satu CD yang salah kuberikan kepada Vikorn.
Aku tak tahu kenapa ada CD film di mejaku. Tampilannya sama pula dengan CD
musik yang tadi sudah ditunjukkan padaku.
CD film itulah yang kuulurkan pada Vikorn untuk
diputar pada salah satu bagian siaran. Tahu apa yang terjadi ? Radio berbunyi.
“Psssstttttt..kresek..kresek.” Mampus dah gua ! Semua orang terperangah. “Oh, Vero. You again!” Untunglah, mereka
semua orang berpengalaman, kecuali aku tentunya. Semua bisa diatasi dengan
tenang. Mereka juga tidak marah. Cuma malunya itu.
Dari peristiwa itu aku
jadi tahu, bagaimana rasanya jadi anak bawang, jadi orang bodoh atau dianggap
bodoh. Belum tentu orang-orang begini ini kemampuan intelektualnya rendah. Bisa
jadi tak punya pengalaman, kesempatan dan karakter yang mendukung. Sentuhan
personal dan dorongan seorang guru amat diperlukan.
Berikan kepercayaan dan kesempatan. Kalaupun gagal lagi, tak apa. Pakai
filosofi sandwich bukan filosofi donat. Sandwich maknanya, bekalmu selalu
cukup, tapi setiap saat kamu bisa menyisipkan lagi isi di dalamnya sehingga
menjadi sempurna. Donat, apapun yang
sudah kamu lakukan, tetap ada yang bolong, selalu ada yang kurang dari usahamu.
Dengan pernah menjadi orang
bodoh, aku tahu meletakkan diri pada posisi mereka. Put myself in their shoes. By
the way, another theme done by the other
group was : “ Priest and Sex”, with subtheme Better Celibate and Scandalous or
Married and Being Faithful? Both were hot, controversial and challenge indeed. Grazias, Lovett.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar