Minggu, 26 November 2017

Mengenang Para Tersayang: Guru-Guruku







Image may contain: 1 person, standing
Angela Ann Zurkowsi

Image may contain: 1 person, eyeglasses and closeup
Peter Malone


Menjadi murid, di negeri asing, dalam cuaca yang amat asing, mencoba mencerna pelajaran dalam bahasa yang juga asing itu pada awalnya luar biasa pusing. Apalagi para pengajar di Crex Avex, Ecully, France itu tidak semuanya para akademisi. Sebagian mereka adalah para praktisi yang mempunyai reputasi internasional. Meski mereka punya jam terbang yang tinggi sebagai pembicara di banyak bagian dunia, kadang mereka tak pandai dalam mengurai ilmunya secara sistematis.
Kalau ketemu pengajar seperti Angela Ann yang memang akademisi dari Dayton University, ya memang asyik. Ia sangat siap dengan materi yang dibuat dalam power point dan kami mendapat foto kopinya. Tak seperti orang Amerika yang sering bicara dengan aksen ngremeng, mulut tak mangap, profesor satu ini artikulasinya sangat jerlas, volume suara mantap, bicara dalam kecepatan yang mudah dipahami mahasiswa asing. Belum lagi ancamannya, “ My students never sleep in my class.” Melototlah kami memandangi beliau, tanpa perlu dibantu bercangkir-cangkir kopi.
Nah tiba saatnya pengajar yang lain. Peter Malone namanya. Saat itu dia presiden SIGNIS International. Mata pelajarannya “Jesus in the Films”, atau sermacam itulah. Lupa aku persisnya. Ini repot bagiku, karena agak-agak praktikal. Jadi kami menganalis konteks film-film tentang Jesus. Ini sebandinglah dengan mata kuliah Sosiologi Sastra zaman aku kuliah di FIB, UGM dulu. Hanya saja objeknya kini film.
Kesulitanku berlipat. Peter Malone berbicara sangat lembut, selembut sinar matanya. Tak ada power point. Setiap hari berdiri dia di tengah kelas di samping alat pemutar film, membimbing kami memahami potongan-potongan film Jesus. Film zaman itu masih dimuat dalam bentuk kaset besar, bukan CD seperti sekarang. Aku selalu duduk tepat di depannya, memandang lurus gerak bibirnya. Tapi logat Australia-nya benar-benar tak bisa kutangkap.


Belum lagi kesulitan memahami materi filmnya. Tahu sendirilah. Kadang kupikir orang Perancis itu agak chauvinis dengan kebangsaannya. Banyak film dari luar dialih-suarakan ke dalam bahasa Perancis. Kalaupun ada yang tetap dalam bahasa Inggris, aku pun tak mampu memahami seluruh percakapannya. Kalau kelas kosong, seorang diri aku memutar film-film yang dibahas itu, sekedar memahami jalan cerita lewat gambar-gambarnya. Kadang terbantu dengan review yang kudapat dari internet. Tapi informasi dari internet tahun 2002-2003 itu belum semasif sekarang.
Kucoba bicara dengan kepala sekolah, Clotilde Lee. Apakah mungkin para pengajar memberi kami sedikit ringkasan dari bahan-bahan yang akan diajarkannya ? Tampaknya memang sulit karena itu tadi, tidak semua mereka itu para guru yang terbiasa mengajar murid di depan kelas. Ya sudah aku tak menuntut juga.
Di sela rehat makan siang, atau rehat kopi sore hari, sementara orang lain ngobrol, aku tetap duduk di kelas. Kupinjam catatan teman dan kusalin. Suatu saat, Peter Malone dengan senyum lembutnya menghampiri. “Kamu rajin amat, sementara teman-temanmu rehat, kamu masih juga belajar,” katanya. Kuceritakan saja kesulitan-kesulitanku. Ia maklum.
Besok paginya, dan pagi-pagi berikutnya, setiap kali masuk ke kelas, Peter Malone selalu menyerahkan beberapa lembar kertas padaku. Isinya ringkasan pelajarannya seharian itu. Ada rasa sungkanku karena membuatnya repot. Ternyata, kertas ringkasan Malone itu tak mutlak menjadi milikku. Orang lain yang kuduga tak ada kendala bahasa samasekali ternyata pinjam juga barang itu. Oh, jadi mungkin mereka itu tak 100% paham pula. Mau bicara terus terang mungkin malu. Akhirnya mereka menunggu si bodoh ini maju dan mereka mengekor di belakangku. Kebodohan yang jadi berkah buat semua.
Satu hal kucatat dalam hatiku. Kalau tak paham ya ngomong terus terang. Syukur kalau ditanggapi. Hasilnya pun berguna untuk semua. Tak semua orang yang dari luar kita lihat pintar itu paham seutuhnya. Sebaliknya sebagai guru - aku pun punya pengalaman hampir 14 tahun mengajar - perhatian personal kepada murid itu penting. Kadang kita lebih mudah memberi perhatian pada pemilik sejumlah kelebihan: pandai, cantik, kaya eh.. (ada lho guru yang gitu..). Lalu abai pada yang terbelakang. Padahal justru mereka yang lebih butuh perhatian. Pahami kesulitannya, dorong dia untuk menemukan solusinya, dibantu lebih jauh bila perlu.***

Image may contain: 1 person, sitting and indoor

Image may contain: 2 people, outdoor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar