Khatam sudah dua jilid buku Mortenson. Buku pertama Three
Cups of Tea (2006), baru saya selesaikan
kemarin. Buku kedua Stones into Schools (2010), saya beli tahun 2013, tapi baru
saya baca tahun kemarin.... . Tuh kaan, i am a good book
collector but not a good book reader.
Greg Mortenson seorang pendaki gunung profesional, mengalami
titik balik dalam hidupnya pada 1993. Ia gagal menyelesaikan pendakian puncak
K2 Pegunungan Karakhoram, Himalaya, yang diyakini sebagai gunung tertinggi
kedua di dunia. Ia mengalami keletihan kronis dan kehilangan orientasi. Terseok-seok
ia berjalan turun sampai total hilang kesadaran di desa Korphe, sebuah tempat
di Pakistan yang sangat terisolir.
Nurmadhar (kepala desa) Haji Ali merawatnya hingga beberapa
hari kemudian ia siuman. Waktu seolah terhentoi di desa ini. Isolasi dan
diskriminasi membuat desa ini nyaris tak menikmati kemajuan. Pejabat Pakistan
yang didominasi etnis Punjabi tak melirik wilayah yang dihuni suku Wakhi , yang masih
terhubung secara antropologis dengan suku-suku yang menghuni wilayah
Afganistan. Haji Ali mengungkapkan
kegelisahannya karena tiadanya pendidikan bagi anak-anak Korphe. Mortenson
berjanji akan membantu mendirikan sekolah dasar untuk mereka.
Ia sendiri sama sekali bukan orang kaya. Pendidikan
formalnya adalah sarjana keperawatan. Ketahanan fisik diperolehnya dari latar
belakangnya sebagai pendaki gunung dan dinas wajib militer. Ketahanan mentalnya
didapat dari latar masa kecilnya di Tanzania. Belasan tahun pertama dalam
hidupnya dihabiskan di sana bersama orang tuanya yang sepasang misionaris
beserta kedua adiknya.
Ia memilih bekerja paruh waktu di rumah sakit, itupun hanya
saat- saat tertentu dalam setahun, sebab
sering kali sibuk dengan urusan pendakiannya.
Harta miliknya hanyalah sebuah mobil tua yang jok belakangnya bisa
disulap menjadi tempat tidur. Malam hari ia memarkir mobilnya di area
pergudangan pelabuhan yang tenang. Ia menyewa sebuah locker untuk menyimpan
barang-barang pribadi. Siang hari selepas bekerja ia lebih banyak berlatih
panjat tebing di sebuah klab untuk melatih kemampuan fisiknya dan untuk bisa
mandi gratis. “Saya hidup nyaris seperti biarawan dengan menu paket sarapan 99
sen, “ tulisnya.
Untuk mewujudkan janjinya kepada penduduk Korphe ia menulis 580 surat dan proposal kepada
berbagai pihak : lembaga, orang-orang terkenal dan anggota dewan. Nyaris tanpa
hasil. Di ujung keraguannya ia berjumpa Jean Hoerni seorang dokter yang
meninggalkan profesinya dan menjadi pengusaha dari beberapa industri besar. Hoerni
mencukupi pembiayaan sekolah di Korphe.
Menjelang keamtiannya, Hoerni juga mewariskan
sejumlah besar uang untuk modal awal pendirian Central Asia Institute, sebuah
yayasan yang dikepalai Mortenson, yang bertujuan memajukan pendidikan anak-anak
di Asia Tengah. Sejak itu hidup Mortenson berubah. Ia tidak lagi bekerja
sebagai jura rawat dalam waktu-waktu tertentu dan menjalani sisanya dengan
mendaki gunung. Beberapa bulan dalam setahun ia berada di Pakistan untuk
memimpin beberapa orang stafnya mengembangkan pendidikan di beberapa wilayah
terpencil di Pakistan.
Itu ringkasan buku pertama. Buku kedua, Stone into Schools,
bercerita tentang misi yang sama di Afganistan. Saat Mortenson berada di
Korphe, sepasukan pria berkuda mendatanginya. Mereka adalah utusan Abdul Rashid
Khan, kepala suku Kirgish di Koridor
Wakan, wilayah terpencil di Afganistan. Mereka minta Mortenson berjanji untuk
mendirikan sekolah di daerah mereka. Saat itu Central Asia Institute belum
terbentuk. Uang dari donatur hanya cukup untuk membangun sekolah di Korphe.
Tapi Mortenson bertekad mewujudkan janjijya. Hal itu baru
bisa dilaksanakan 10 tahun kemudian. Inilah yang diceritakan dalam buku kedua.
Membaca kedua buku ini saya seperti melayang ke lereng
Himalaya di sisi Pakistan Karakoram, Hindu Kush berlanjut ke koridor Wakhan
menuju Lembah Panjshir. Saya diajak menyelami
tradisi suku-suku di Pakistan dan Afganistan. Benar kata seorang teman Facebook
bahwa suku-suku tersebut berbasis klan.
Mau mengerjakan sesuatu di sana ? Pegang nurmadhar-nya, karena tangan-tangan
pemerintahan yang sah tidak menjangkau mereka.
Satu pengertian lagi bahwa
suku-suku yang ditulis dalam buku
ini adalah penganut Islam moderat, jauh dari gambaran Islam model Taliban.
Sebagian adalah penganut mazhab Ismailiyah.
Saat Mortenson bekerja di
Pakistan, sejumlah syaikh dari Arab mensuplai banyak uang untuk mendirikan
semacam madrasah Wahabi di pedalaman. Mereka inilah yang akan menjadi “stok”
kombatan di Afgaistan. Sebagian nurmadhar tidak suka tapi mereka tidak berdaya
karena keterhimpitan ekomomi dan akses partisipasi politik.
Bagitu, #Kisahku_dengan_buku kali ini. Energi baik akan ketemu energi baik. Tentu tidak sesederhana itu karma bekerja. Saya
tidak meyakini hal seperti itu sebagai sebuah kepastian. Hal
baik tidak selalu berbuah baik. Tapi, saya selalu bersyukur jika kebaikan dan
kemurahan hati saling bertaut dan berbuah indah bagi pemuliaan kemanusiaan.