Gambar dari http://psychlearningcurve.org/violence-against-teachers/ |
Kekerasan terhadap guru (pengajar) terjadi karena posisinya
bisa jadi memang rentan terhadap pemangku kepentingan yang lain di tempat ia
bekerja. Saya pernah merasakannya maka bisa bercerita.
Dalam rentang waktu yang lumayan lama saya pernah mengajar
di perguruan tinggi swasta. Bukan sok-sokan untuk aktualisasi diri atau apalah.
Tapi karena sebagai buruh rendahan saya harus srobot sana srobot sini supaya
asap dapur bisa ngebul selama sebulan. Orang tidak bisa hidup dari Sabda Tuhan
saja toh?
Saya mengendalikan diri untuk tidak berpikir dan tidak
bertindak rasis. Tapi, maaf saya harus mengatakan, tiap daerah itu mempunyai
karakter yang khas. Umumnya begitu. Orang di Sumatera beda dengan di Jawa.
Lebih keras tentunya, dan itu harus disikapi dengan cara yang lebih tegas pula. Saya menjalani SMA dan perguruan tinggi di Yogyakarta. Di
sana secara umum saya bisa katakan, para siswa dan mahasiswa mempunyai
penghormatan yang baik terhadap para pengajar. Peserta didik yang datang dari
berbagai tempat di Indonesia lebih punya etos belajar yang kuat.
Di tempat saya pernah bekerja suasananya berbeda. Masuk
kelas suasana ribut bukan kepalang itu sudah biasa. Disuruh masuk tepat waktu
susahnya bukan main. Diberi buku referensi jangan harap akan dibaca. Di tengah
suasana begini tentu ada sejumlah mahasiswa yang punya kualitas istimewa
tentunya.
Sebagai pengajar saya dan juga pengajar yang lain menghadapi
tekanan dari pihak lembaga pula. Harus mampu meng-handle kelas, harus mampu
membuat suasana belajar mengajar menjadi menarik, dan hasil UAS mahasiswa harus tinggi. Kalau itu tidak
terpenuhi, yang salah ya si pengajar.
Setiap pertengahan semester diedarkan angket kepada
mahasiswa untuk menilai pengajar. Aspek yang dinilai tidak sekedar bidang ilmu
yang diampunya saja, tetapi juga meliputi misalnya, apakah pengajar bisa
mengendalikan emosi, bisa memberi wawasan dan motivasi, bisa melucu sehingga
mahasiswa tidak mengantuk, bisa punya waktu untuk diminta konsultasi di luar
kelas, dll. Pokoknya pengajar itu harus seorang yang cerdas secara keilmuan
sekaligus seorang motivator dan seorang penghibur.
Ketika tahun pertama mengajar hasil angket saya
ancur-ancuran. Saya dinilai jutek, tak bisa melawak, mata kuliah saya (Bahasa Indonesia) tak
berguna, pelit senyum, pelit nilai. Nah,
di jurusan sekretaris, di sini
mahasiswinya cuantik dan modis, saya dinilai berpenampilan kacau. Rambut sering
acak-acakan, warna baju atas dan bawah sering tidak match-in, sudah pendek
gemuk eh tidak mau pakai sepatu berhak, dll. Seiring waktu, angket untuk saya baik-baik saja. Satu yang sulit berubah, saya
dinilai terlalu serius dan tidak pandai bercanda sehingga mahasiswa sungkan
akrab. Ok-lah.
Hasil angket yang buruk bisa membuat pengajar magang ditendang.
Juga sama akibatnya bagi pengajar paruh waktu yang biasanya cuma dikontrak per
satu semester. Maka tidak heran banyak pengajar yang sangat berusaha untuk
mengambil hati mahasiswa.
Karena merasa butir-butir angket itu bisa menghasilkan
penilaian yang kurang objektif, suatu waktu saya mengedarkan selembar kertas.
Saya minta mahasiswa memberi penilaian secara terurai pada dua hal saja yaitu
materi pengajaran dan cara mengajar. Selanjutnya mereka boleh mengkritik dan
memberi usulan. Nah di sini cerita dimulai.
Saya minta seorang mahasiwa mengumpulkan kertas-kertas tanpa
nama tersebut. Seorang mahasiswi (sampai sekarang pun saya ingat wajahnya tapi
lupa namanya) memberikan kertasnya langsung kepada saya. Hanya sebuah kalimat
ditulisnya, “Saya tidak layak mendapat nilai C.”
Semula saya tidak ambil pusing dengan kertas itu. Seusai UAS
saya hitung nilai dia ya hanya cukup untuk mendapat nilai C. Tetapi, tak berapa
lama setelah KHS dibagi saya dipanggil ketua jurusan. “Bu, ada telepon dari
salah satu orang tua mahasiswa yang mengatakan bahwa nilai pelajaran Ibu di
salah satu kelas C semua. Saya sudah periksa daftar nilai Ibu, itu tidak
benar,” katanya. Ketua jurusan
menyarankan saya menghadap pemilik perguruan.
Bapak X, pemilik perguruan itu, sudah pula ditelpon oleh
yang bersangkutan. Tanggapannya pada saya baik, dan menganggap saya tidak
bersalah . Tetapi saya diminta menyelesaikan masalah ini nyaris sendiri. Ia
lalu memberi saya nomor telepon ibu itu, yang mengaku seorang peserta program
S3 Universitas Padjadjaran. “Undang dia datang ke sini dan siapkan nilai-nilai
anaknya,” kata Pak X.
Tiga hari terus-terusan bolak-balik saya telpon nomor itu.
Tak ada sahutan sama sekali. Saya lapor pada yang berkepentingan. “Eh, cuma
mahasiswa kurang ajar rupanya,” kata Pak X. Masalah selesai.
Sebenarnya seberapa penting angket semacam itu? Bisa penting
sekali. Perguruan tinggi (swasta) bisa tak laku kalau mahasiswanya sulit lulus,
atau IPK pada ijazahnya kecil-kecil. Mahasiswa tahu itu. Maka sebagian mereka
jadi punya “senjata” untuk menekan
pengajar. Sebego dan sendableg apapun mereka harus diluluskan toh? Mau jadi apa
perguruan tinggi yang mahasiswanya tak lulus-lulus? Mungkin begitu yang ada di
benak mereka.
Pengajar jadi terhimpit dari dua pihak. Mahasiswa menuntut pengajar
yang kompromistis, perguruan tinggi menuntut pengajar berkualitas sekaligus
“dicintai” mahasiswa. Dan kalau sudah
masalah perut, si pengajar berakrobatlah untuk berusaha menjadi manusia super.
Oh, ada lagi kekerasan atau perundungan yang saya alami.
Pernah dalam suatu kelas ada beberapa orang jadi biang ribut. Salah satunya
menggulung celana panjangnya sebatas lutut, duduk tepat di depan saya. Kelas
yang lain pernah beberapa mahasiswa sengaja membunyikan ponsel untuk memancing
keributan. Pernah terjadi dua mahasiswa gampar-gamparan di kelas saya. Untung
saya cukup senior saat itu dan dianggap mampu meng-handle kelas. Jadi saya
tidak disalah-salahkan. Juga saya cukup berani memberi nilai E pada jenis mahasiswa
begini. Suatu saat datang seorang wali mahasiswa menanyakan kenapa anaknya
tidak lulus (yang ini sopan, setelah
diterangkan dia mengerti. Malah cerita tentang kebiasaan memanjakan anak lelaki
utamanya sulung pada sukunya).
Saya yakin bahwaA saya alami dialami pula oleh para pengajar
di perguruan tinggi swasta yang lain. Atau juga di sekolah menengah. Saya cukup
paham bahwa untuk pengajar muda dibutuhkan keberanian untuk bersikap tegas.
Satu lagi, mungkin perlu dilatih bela diri. J. Serius J
!