Selasa, 28 November 2017

Mengenang Guruku : Sex Before Married

Salah satu capaian penting  belajar di luar negeri bagiku adalah merasakan bagaimana menjadi murid tergoblog. Sejak sekolah, taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi aku tidak termasuk golongan menengah bawah. Sesekali juara walau tidak pernah menjadi juara I juga. Kenapa kusebut pencapaian?   Karena hal ini mengubah cara pandangku selanjutnya saat aku menjadi guru.
Masih cerita tentang Ecully. Belum sembuh dari rasa jetlag, tibalah aku pada kelas radio. Pengajarnya super duper hebat, Sean Patrick Lovett, direktur siaran bahasa Inggris Radio Vatikan. Mata pelajaran ini nyaris seutuhnya praktikal. Ada  teorinya, tapi sedikit sekali. Selebihnya berkutat dengan membuat naskah, masuk studio rekaman atau ke lapangan mewawancara narasumber. Bayangkan ! Aduhai super duper mumetnya aku. 

Di kelas ini ada siswa-siswi hebat, dengan begitu mereka langsung nyambung. Ya, kelas ini cuma penyegaran saja kok buat mereka. Semacam tahun sabatikal yang boleh diambil di luar negeri dengan mengikuti kursus atau apalah yang berguna tapi tetap menggembirakan. Ada Fabrizio Colombo, misionaris muda ganteng asal Milan yang bekerja di Chad. Ada Agnes Namutebi, penyiar hebat dari Radio Uganda. Ada lagi sahabat terbaikku Michelle Yoon, seniwati penulis naskah radio, drama dan film dari Korea Selatan. Saiyah mah apah... ! 





Hari pertama pelajaran diisi dengan permainan. Tujuannya cuma untuk menunjukkan  bahwa bekerja di radio itu tak selalu gampang. Kita harus memberi informasi kepada pendengar hanya dengan suara. Visualisasi informasi hanya terjadi di ruang kepala pendengar. Caranya kami berpasang-pasang duduk saling membelakangi. Aku berpasangan dengan Agnes, tak bisa memilih partner sendiri. Jan cilaka tenan !

Berani ke luar negeri begini, tentu bahasa Inggrisku bukan tingkat elementary –lah. Tapi seperti kebanyakan orang Indonesia, kita tidak benar-benar mempraktikkan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin mengikuti kursus, tetapi tetap saja bahasa Inggris kita berkembang secara pasif, banyak membaca. Kita paham orang bicara apa, tapi sulit bagi kita untuk bisa mengekspresikan buah pikiran kita dengan jernih dan mendalam. Lama kita berpikir untuk menyeleksi diksi yang tepat. Karena lama tidak ketemu juga, akhirnya yang terucap jadi dangkal, tak bisa menggambarkan tingkat pemahaman kita yang sesungguhnya. Otak dan mulut  tak sinkron. 

Satu lagi yang tak pernah kita duga sebelumnya adalah juga tentang logat. Bahasa Inggris itu dipakai di banyak belahan dunia. Masing-masing tempat mewarnai logat penuturnya. Ada orang India, yang jangankan menyanyi, ngomong saja logatnya keriting mereka itu, sambil menggeleng-gelengkan kepala pula. (Ooop... kalau bilang yes mereka malah menggeleng). Dan bagianku adalah, Agnes, yang logat Ugandanya sangat kental, keras, dengan tekanan berat pada suku kata atau fonem akhir. “Wakkk, takkkk!!!”  - Walk, talk - . Jantungku berdegub kencang, sementara pikiranku berjalan lambat ! 

Dari balik punggung kami saling memberi tebakan tentang suatu benda hanya dengan mendeskripsikannya. Lha, aku menangkap logatnya si Agnes saja kagak. Agnes sih maklum, karena kami bertiga, dengan Michelle, memang tinggal serumah. Dia tahu aku baru saja datang dari negara yang tidak memakai bahasa Inggris, dan dia banyak membantu aku memahami teks-teks sulit. Tapi Lovett, nggak ngerti itu. “Vero, terrible,” katanya. 

Pelajaran selajutnya membuat naskah iklan singkat lengkap dengan musiknya. Ini sih gampang. Tapi saat harus merekam suara sendiri, aku  putus asa. Aku berlogat Inggris Jawa.  Apa orang bisa paham ? Belum lagi Vikorn Tetsalee, volunteer teknisi di Crec Avex, memaksa aku bicara cepat. Nyerah dah! Kudatangi Lovett,  “Bahasa Inggrisku jelek, suaraku tidak mikrofonis. Aku mau pakai suara Agnes saja.” Agnes suaranya gandem marem tenan di mikrofon.

Kali ini Lovett bersikap lembut padaku. “Vero, dengarkan aku. Pergi ke perpustakaan dan tonton film Musa pada sekuel semak-semak terbakar. Kamu akan lihat, suara Tuhan saat berbicara dengan Musa adalah suara si pemeran Musa itu sendiri. Paham kamu, apa maksudku?” –“Paham boss.  Tuhan berbicara kepada kita, hanya dengan menggunakan suara kita sendiri.” – “Perfect, Vero. Do it, “ balasnya. 

Tibalah saatnya kami berkeja untuk proyek kelompok. Tema yang disediakan untuk kami telah ditentukan, “Sex Before Married” dengan subtema “If Sex is a Gift, Why Can’t I Unwrap it ?” .  Menarik. Meski di Eropa, kalau tema ini dibicarakan di internal lembaga Gereja, ya bisa kontroversial juga. Bentuk siarannya gabungan siaran langsung dan rekaman. Kami mencari pendapat the expert, the experience, and the public. Aku dijatah kerja yang paling gampang, cari pendapat yang terakhir itu. Dengan dibekali sedikit teori wawancara – brief, anonymous, various -, pergi aku ke luar cari pendapat orang. 

Potongan-potongan pendapat orang banyak itu  disatukan dan diputar dalam siaran langsung. Seorang teolog kami datangkan untuk berbicara dalam kompetensi ilmunya. Seorang perempuan muda, menikah, ibu seorang anak, bersedia datang dan diwawancara mewakili ‘the expert’.  Fabrizio Colombo masuk ke boks siar dan menjadi pewawancara. Agnes dan Michelle sudah pula bekerja dengan detil-detil naskah. 

Aku lagi-lagi diberi tugas paling gampang, menjadi asistennya Vikorn, pengendali siar. Tugasku hanya mengulurkan beberapa CD musik instrumental yang akan diputar untuk selingan. Konteksnya waktu itu lho ya, alat-alat siar, computer, dll belum secanggih saat ini. Studio Avex juga sederhana saja kok. Lagi-lagi aku membuat kekacauan. Ada  satu CD yang salah kuberikan kepada Vikorn. Aku tak tahu kenapa ada CD film di mejaku. Tampilannya sama pula dengan CD musik yang tadi sudah ditunjukkan padaku. 

CD film  itulah yang kuulurkan pada Vikorn untuk diputar pada salah satu bagian siaran. Tahu apa yang terjadi ? Radio berbunyi. “Psssstttttt..kresek..kresek.” Mampus dah gua ! Semua orang terperangah. “Oh, Vero. You again!” Untunglah, mereka semua orang berpengalaman, kecuali aku tentunya. Semua bisa diatasi dengan tenang. Mereka juga tidak marah. Cuma malunya itu.

Dari peristiwa itu aku jadi tahu, bagaimana rasanya jadi anak bawang, jadi orang bodoh atau dianggap bodoh. Belum tentu orang-orang begini ini kemampuan intelektualnya rendah. Bisa jadi tak punya pengalaman, kesempatan dan karakter yang mendukung. Sentuhan personal dan dorongan  seorang guru amat diperlukan. Berikan kepercayaan dan kesempatan. Kalaupun gagal lagi, tak apa. Pakai filosofi sandwich bukan filosofi donat. Sandwich maknanya, bekalmu selalu cukup, tapi setiap saat kamu bisa menyisipkan lagi isi di dalamnya sehingga menjadi sempurna. Donat,  apapun yang sudah kamu lakukan, tetap ada yang bolong, selalu ada yang kurang dari usahamu.   


Dengan pernah menjadi orang bodoh, aku tahu meletakkan diri pada posisi mereka. Put myself in their shoes. By the way, another theme done  by the other group was : “ Priest and Sex”, with subtheme Better Celibate and Scandalous or Married and Being Faithful?  Both were  hot,  controversial and challenge indeed. Grazias, Lovett. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar